Sistem sudah terbangun demikian buruk hingga nilai kebenaran dan keadilan direduksi secara sistematis dengan pendangkalan-pendangkalan yang amat menakutkan bagi kedirian sebuah negara-bangsa. Fahamilah sungguh-sungguh, setelah dengan cukup sabar memberi waktu kepada pemerintah, akhirnya para tokoh lintas agama itu pun berbicara. Ini hanya obligasi moral (kewajiban). Jika mereka tak berbicara dalam kondisi yang sudah demikian parah, malah mereka boleh disebut sudah lari dari peran dan fungsi sebagai tokoh agama. Jika istana juga tak mau mendengar, memang itu hak istana.

Jika seseorang atau beberapa orang atau bahkan banyak orang dari lingkaran istana berusaha memecah tokoh lintas agama, silakan dicobanya. Tokoh lintas agama itu sama sekali tidak hendak menggiring pemakzulan. Tanpa tokoh lintas agama itu pun, sesuatu diprediksi akan terjadi juga, dan mungkin akan lebih besar dampaknya.

Mengapa sesuatu itu harus terjadi juga? Itu terpulang kepada kinerja pemerintah yang sudah sangat cukup sukses menurut agregat (akumulasi) rapor yang dibikin sendiri melalui tangan lembaga ekstra yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto itu.

Berpikir sendiri, berbuat sendiri dan memuji diri sendiri (narcis) itu bukan sesuatu yang baik dan tidak mendidik. Mizan (timbangan) standar sekalipun, yang dibuat oleh “tuan besar Amerika” dan perangkat-perangkat kelembagaan globalisasi seperti World Bank dan IMF hanyalah instrumen belaka untuk mendekati pemahaman terhadap substansi kebenaran.

Sudah lama Mahbubulhaq, Jefri Winters dan ilmuan yang sefaham seperti Sritua Arif, berteriak lantang tentang hal seperti itu. Jauh lebih penting dari instrumen dan segala macam pendekatan positivistik itu ialah hati nurani. Hati nurani akan membentuk bukan sekadar kata dan sejumlah tanya, melainkan sikap batin yang mengkristal hari demi hari dan selalu memiliki peluang bergulir bagai bola salju.

Bukan berargumen apologetik yang diperlukan pada saat seperti ini, melainkan kesungguhan mempekerjakan secara efektif dan benar seluruh instrumen kenegaraan dan segenap kekuasaan yang dimilikinya untuk memperjuangkan public services yang mengurangi sendi-sendi pembentukan relative deprivation (perasaan keterampasan) yang semakin meluas di tengah masyarakat.

Tidak Mengada-ada. Argumen apa yang harus ditegakkan untuk membela kebenaran perjalanan negara-bangsa jika korupsi sudah seakan menjadi “agama baru”, dan bahkan lebih parah dari data-data indikatif tentang belasan Gubernur tersangka korupsi yang meski asesmentnya pun masih bersifat tebang pilih? Argumen apa yang bisa ditegakkan jika untuk memberi nama bagi sejumlah pulau Indonesia pun bahkan belum mampu, konon lagi untuk melindungi dan mensejahterakannya? Argumen apa lagi yang dapat dicerna oleh publik jika “setiap pagar sudah menjadi pemangsa bagi tanaman?”

Argumen apa lagi yang bisa ditegakkan jika Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) bentukan Presiden itu sudah diposisikan sebagai bagian dari mafia, paling tidak oleh Gayus Tambunan yang menganggap testimoninya tentang itu sebagai bagian dari pertaubatannya untuk sekaligus mengabdi barang sedikit kepada negara dan bangsanya meski pernah terlanjur salah? (mengapa tak ada keberanian Satgas mengadukan Gayus Tambunan, adalah pertanyaan besar yang tak terjawab dengan predikat penilaian “baik” dari Presiden SBY terhadap kinerja Satgas setelah melapor di Cikeas belum lama ini).

Pasti motif jelek yang tak termaafkanlah yang ada dibalik pengedaran buku-buku tentang SBY (ke sekolah) dengan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) di tengah buruknya proses dan mutu pendidikan nasional yang saat ini seakan lebih berkutat pada hal-hal yang tak substantif seperti Ujian Nasional yang kurang lebih dapat diposisikan sebagai ironi “memakai dasi padahal belum mempunyai celana dan baju”. Hanya mental narcisme yang mungkin berdamai dengan semua fakta ketidak-beresan ini dengan dibantu perangkat-perangkat hipokritas yang bertebaran di sekitar kekuasaan kepresidenan. Mereka harus disarankan untuk sebaiknya berhenti dengan target-target ad hock dan tak terpuji itu. Negara dapat bubar karena itu, karena peradaban paling besar sekalipun tidak pernah sungguh-sungguh rubuh karena serangan dari luar (ingat: the great civilization never go down unless it destroyed from within).

Jika saja “masih ada partai politik di negeri ini”, yakni partai yang penuh kesungguhan mengadvokasi kepentingan rakyat, partai yang tidak cuma hadir saat bagi-bagi uang untuk kemenangan dengan motif dan cara perampasan suara dalam pemilu, partai yang tidak cuma mengejar kepentingan elitnya di Jakarta, partai yang tidak mengorbankan kepentingan rakyat untuk sebuah koalisi kepentingan seperti Sekretariat Gabungan (Setgab), maka para tokoh lintas agama itu boleh jadi tidak perlu berteriak sekeras itu. Untuk apa mereka berteriak, mereka mempunyai domain sendiri dan agenda besar sendiri yang belum habis-habis meski dengan bekerja dengan penuh kesungguhan.

Sistem sudah terbangun demikian buruk hingga nilai kebenaran dan keadilan direduksi secara sistematis dengan pendangkalan-pendangkalan yang amat menakutkan bagi kedirian sebuah negara-bangsa. Fahamilah sungguh-sungguh, setelah dengan cukup sabar memberi waktu kepada pemerintah, akhirnya para tokoh lintas agama itu pun berbicara. Ini hanya obligasi moral (kewajiban). Jika mereka tak berbicara dalam kondisi yang sudah demikian parah, malah mereka boleh disebut sudah lari dari peran dan fungsi sebagai tokoh agama. Jika istana juga tak mau mendengar, memang itu hak istana.

Penutup. Sembilan kebohongan warisan lama dan 9 kebohongan baru telah mereka sampaikan dengan santun, tidak dengan bahasa pengancaman. Memang ada fakta kesenjangan antara kata dengan perbuatan (pemerintah) dalam penilaian mereka. Sebutlah soal ekonomi. Instrumen pendataan versi kapitalis memang menunjukkan Indonesia makmur, maju dan mendekati predikat welfare state (Negara kesejahteraan), sebagaimana secara apologetik dicoba ditegaskan oleh Dipo Alam dan Sudi Silalahi saat pertemuan dengan tokoh lintas agama di istana. Tetapi pada saat yang sama pemerintah juga mengekspose sendiri banyak hal tentang keterpurukan, melalui program-program unggulan. Katakanlah tentang besarnya dana untuk orang miskin yang diakomodasi dalam APBN dan APBD hampir semua daerah.

Tak mengapa tokoh seperti Murdaya bersikukuh menyatakan begitu besarnya kemajuan yang dicapai oleh pemerintahan dalam hampir segala bidang. Itu bukan antipoda yang sungguh-sungguh terhadap tesis para tokoh lintas agama. Tokoh lintas agama itu sudah memiliki definisi sendiri yang tidak mungkin dengan mudah bersisian dengan yang bukan habitatnya.

Maka berterimakasih dan bahkan bersyukurlah masih ada suara dari tokoh lintas agama saat mereka ber-qulilhaq walau kana murran (kemukakan kebenaran itu meski pahit). Jika istana menghadapinya dengan cara yang merujuk pada upaya-upaya lazim eliminasi partai-partai yang dianggapnya menjadi lawan, atau cara-cara lain yang tak bersendi demokrasi yang luhur, itu memang sebuah pilihan njuga. Tetapi perlukan ada catatan perpanjangan arogansi yang tak baik pada halaman-halaman sejarah? Negarawan sejati tidak suka itu. Pasti.

 

Posting ini dimuat pada Harian Waspada Medan Kamis 3 Maret 2011