Anda sering mendengar keluhan-keluhan para pejabat tentang tingkah polah atasannya yang seberapa pun buruknya namun tetap dilayani kan? Para birokrat itu bisa mengikuti irama dan kadang secara hipokrit berlebihan bisa menjadi bumper-bumper yang mempertontonkan kepanglima-talaman. Itu sudah amat lazim, bung.

Ancaman Gatot Pujonugroho tentang pencopotan pejabat hasil KKN di jajaran Pemprovsu yang disampaikannya tadi pagi saat rapat tertutup dengan SKPD saya anggap serius dan bukan gertak sambal. Menurut saya bahkan bukan cuma pejabat hasil KKN, pejabat yang tidak profesional pun akan mendapat sorotannya secara serius. Tentu tidak akan mendadak sontak. Bagaimana pun juga dia seorang politisi yang relatif sudah banyak menimba pengalaman dan dia tahu akan berbuat apa di tempat dan di waktu yang mana.

Sungguh, saya yakin dia akan melakukan itu. Saya amat tidak setuju jika itu disebut sebuah arogansi. Itu sebuah keniscayaan belaka. Ingatlah Syamsul Arifin sewaktu apel pertama setelah resmi menjabat Gubernur tanggal 17 juni 2008. Waktu itu Syamsul Arifin menegaskan akan melakukan pergantian sejumlah Kepala Dinas dengan dalih selain untuk meningkatkan kinerja juga dalam upaya menerapkan PP Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Juga secara normatif disebutkannya bahwa rencana itu tak terkait isu-isu tim sukses masa pencalonan Pilgubsu sebelumnya. Menambah keyakinan publik, Syamsul Arifin malah menekankan bahwa pergantian itu akan dilakukan sebagai tour of duty dan merujuk putusan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan. Nah sekarang saya tanya, siapa yang berani bilang Syamsul Arifin itu arogan?

Jabatan Sebagai Ibadah. Sepanjang yang saya tahu, bagi Gatot jabatan itu adalah ibadah, dan cuma itu. Jika ia tidak berhasil melakukan perbaikan internal, dengan alasan apa pula ia kelak berbicara tentang perbaikan-perbaikan lainnya yang akan menjadi isapan jempol belaka.

Tekad itu sudah tepat, malah jika tidak melakukan itu dia akan ditenggelamkan oleh kecanggungannya sendiri di tengah buruknya iklim birokrasi. Catatlah bahwa Sumatera Utara kini sudah memiliki seorang calon (incumbent) Gubernur yang akan bertarung pada pemilukada 2013, namanya Gatot Pujonugroho. Modalnya pastilah kinerja selama ditinggal Syamsul Arifin. Seratus persen dia akan menjadikan kesempatan ini sebagai kampanye sepanjang waktu yang tersedia baginya dengan obsesi utama memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. Karena itu dia ingin orang-orang di sekitarnya benar-benar bersih dan profesional untuk mendukung obsesi itu. Soal kelak ada yang suka dan tidak suka itu hal biasa, karena hanya pelawak sajalah yang paling mungkin disukai oleh hampir semua orang.

Jangan pula lupa mencatat bahwa dia memang bukan Zhu Rongji yang akan mengirimkan 99 peti mati kepada aparatur jahat. Tetapi pola hidup dan ucapan-ucapannya ke depan akan merefleksikan sesuatu yang penting untuk memulai perubahan di daerah yang sudah terstigma demikian buruk secara nasional.

Kemampuan adaptasi. Saya amat yakin pula bahwa di luar aparat yang sudah buruk tak ketulungan, jika ada itu, di lingkungan pemprovsu masih ada aparat yang bersih dan bisa diajak bekerjasama membangun Sumatera Utara. Gatot Pujonugroho pun tentu tahu mereka.

Juga saya amat yakin, mentalitas adaptif para birokrat sudah terlatih dari waktu ke waktu. Kasarnya, jika harus dipimpin bandit, para birokrat itu pun dengan serta merta bisa menyesuaikan diri dan tanpa kesulitan yang cukup berarti. Anda sering mendengar keluhan-keluhan para pejabat tentang tingkah polah atasannya yang seberapa pun buruknya namun tetap dilayani kan? Para birokrat itu bisa mengikuti irama dan kadang secara hipokrit berlebihan bisa menjadi bumper-bumper yang mempertontonkan kepanglima-talaman. Itu sudah amat lazim, bung.

Dalam dunia politik pun hal itu pun berlaku. Buktikanlah nanti, Syamsul Arifin cepat atau lambat, secara langsung atau tidak, akan mengeluhkan orang-orang yang dulu menjadi jaringan strategisnya ketika mereka ini memilih larut menangisi nasib bersama Syamsul Arifin atau menentukan sikap sesuai irama perubahan. Pada umumnya politisi akan lebih realistis, meski fatsoen bisa berbeda antara satu dan lain orang. Tetapi intinya tetap sama, tak ada orang yang merelakan dirinya hanyut bersama kegagalan. Mungkin kesetiaan setara yang dimiliki cewek-cewek di sekitar Khadafi yang mau seperti itu.

Nah, alasan apa pula mereka tak mampu menyesuaikan diri ketika Gatot Pujonugroho mengajak ke sebuah jalan lurus? Oleh karena itu saya optimis Gatot Pujonugroho bisa berbuat maksimal.