http://shadowness.com/Berry/president-sby
http://shadowness.com/Berry/president-sby

Pentolan partisan Indonesia sangat tak mungkin mengindahkan tawaran kudeta. Lalu sehebat apa usaha yang mungkin dilakukan para “ekstrimis” yang tak berakar?

INI sebuah model interupsi yang cukup mencengangkan. Jika sekadar unjuk rasa yang pada akhirnya, di luar skenario inisiator, muncul suara-suara spontan “turunkan SBY-Budiono” di tengah keriuhan, sambil membakar ban, misalnya, tidaklah begitu mengejutkan. Luapan emosi kebersamaan (togetherness situation) bisa memicu lontaran-lontaran umpatan sekeras apa pun. Hal-hal seperti gesekan yang berakhir dengan “perkelahian” tak berimbang antara pengunjuk rasa dan petugas keamanan pun, lazim sebagai bukan agenda, namun terjadi.

Tetapi jika pemberitahuan yang luas tentang rencana unjuk rasa untuk mengkudeta SBY-Budiono, di saat “permukaan laut” sebetulnya kelihatan tidak berkecamuk, sungguh sebuah keunikan baru dalam sejarah unjuk rasa di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan serius yang tentu menjadi penting diajukan oleh bukan saja orang-orang pemerintahan ialah, siapa gerangan yang akan mengambilalih kekuasaan dengan cara pemaksaan ini.

Partai-partai saja kelihatannya memilih lebih sibuk menggantang kemenangan pasca SBY-Budiono melalui Pemilu 2014. Memang keresahan mereka kini semakin meningkat sehubungan dengan target-target KPK yang faktanya semakin melebar pasca penangkapan Presiden PKS. Tetapi tidak mungkin bagi para pencari kekuasaan ini mengorbankan peluang terbuka untuk berkuasa secara konstitusional melalui Pemilu 2014 itu.

Mungkin juga memang ada akumulasi ketidakpuasan pada korps-korps tertentu dari militer. Itu pun masih harus dibedakan sangat tajam dengan aksi-aksi yang mereka akspresikan dalam kekerasan seperti di Sumatera Selatan (Sumsel) belakangan ini. Semua orang yakin akar ketidakpuasan militer tidak dapat ditafsirkan sebagai rencana kudeta. Jika kudeta itu selalu mengukirkan sejarah keterlibatan militer, maka pada gilirannya bertanya: sempalan mana yang akan melalukan itu?

Para mantan jenderal dan jenderal aktif yang (mungkin saja ada) tak puas bisa saja semakin merasa tak begitu menyenangkan menyaksikan Indonesia hari demi hari. Tetapi itu tak menjadi syarat yang cukup untuk kudeta, saat ini. Jika di negara dunia ketiga seperti Indonesia lazimnya kudeta itu kerap lebih menjadi design yang intelektualnya ada di luar sana, maka negara adikuasa mana yang akan memberi support?

Memang benar ada kebakaran yang rada aneh di sekitar lokasi pusat kekuasaan, pekan lalu. Tetapi itu bukanlah sesuatu fenomena yang cukup “seksi” untuk mempermainkan trik-trik mobilisasi sistematis untuk menurunkan pemerintahan yang meski banyak pihak menilai tak efektif mengubah kondisi keterpurukan. Akan berbeda situasinya jika misalnya dalam pekan-pekan lalu terjadi kelangkaan kebutuhan pokok (yang bukan sekadar isu buruk seputar bawang putih) seperti bensin yang hilang dari pasaran.

Ketidakadilan yang menjadi salah satu penyebab terpenting kebutuhan primer rakyat tak dapat terpenuhi memang sudah lama diderita. Tetapi efeknya malah bisa semakin melemahkan asa terluas yang bahkan memerosotkan keinginan protes. Meski pun begitu buruk kualitasnya, bagi masyarakat miskin dan marginal yang selalu menjadi bamper penting untuk kudeta, beras raskin pasti masih sangat cukup untuk meredam kemarahan jika distribusinya masih belum terganggu. Lalu siapa yang akan menggulingkan SBY-Budiono?

Kudeta Pasca Isu Memuakkan?Jika begitu sulit atau bahkan mustahil menemukan bibit kudeta itu saat ini, maka logis sekali jika pikiran kritis berusaha menemukan siapa penebar isu. Atau harus dikatakan saja bahwa isu kudeta itu berasal dari sebuah rumah sakit jiwa yang dirumuskan oleh beberapa pasien yang tak sabar mengakhiri masa rawatan mereka? Tudingan akan diarahkan kepada pemerintah.

Itu pulalah alasan kalangan elit berkomentar miring. SBY minta “dikasihani” lagi? Jika tudingan miring ini benar, maka hitungan-hitungan yang kurang cermat ini akhirnya akan dapat berujung pada akumulasi kekesalan. Jangan-jangan, setelah ini, ada orang yang dengan kekesalannya malah menjadi terpikir untuk benar-benar melakukan stigmatisasi yang semakin buruk terhadap SBY-Budiono hingga melahirkan gelombang perasaan tak puas dan terkonsolidasi.  Itu yang paling mungkin berujung ke keinginan mengkudeta.

Tetapi terlalu simplistis menghitung dengan cara seperti itu. Pentolan partisan Indonesia sangat tak mungkin mengindahkan tawaran kudeta. Lalu sehebat apa usaha yang mungkin dilakukan para “ekstrimis” yang tak berakar? Seberapa besar prajurit yang hatinya benar-benar tak berada di barak saat ini? Pentolan tokoh militer mana yang proaktif bermain mata dengan kekuatan asing? Seberapa besar potensi dukungan menggebrak dari situasi serta kondisi yang tak terpuaskan ini? Amat tak masuk akal juga.

Kalau begitu, sebaiknya ditanyakan kepada Nazaruddin saja. Atau kepada Angelina Sondakh. Atau kepada Anas yang belum juga memulai membuka buku lembaran-lembaran berikut yang pernah ia janjikan itu.

Shohibul Anshor Siregar. Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian Medan Bisnis, Senin, 25 Maret 2013, hlm 2.