Slide10

Jurnalis itu meminta tanggapan saya atas pencalegan mantan Cagubsu dan Cawagubsu Djoss dari PDIP. Saya ingin ia faham betul masalah ini sehingga saya terpaksa bongkar sejarah lama. Begini:

  • Tritamtomo (PDIP, Dapil Sumut III), Ali Umri (NasDem,Dapil Sumut III), Chairuman Harahap (Golkar, Dapil Sumut II), Gus Irawan Pasaribu (Gerindra, Dapil Sumut II), Abdul Wahab Dalimunte (Demokrat, Dapil Sumut I), dan Efendi M Simbolon (PDIP, Dapil DKI III) adalah para mantan Cagubsu yang pernah melakukan hal sama. Semua mereka sukses meraih kursi melalui pemilu yang diselenggarakan setelah pilgubsu yang mereka ikuti dan kalah.
  • Romo Raden Mohammad Syafii (Gerindra) dan Fadli Nurzal (PPP) untuk mantan Cawagubsu yang menjadi pendahulu bagi Sihar Sitorus, juga sukses beroleh kursi pada pemilu yang sama diikuti oleh para mantan Cabubsu di atas.
  • Adapun Benny Pasaribu yang pernah berpasangan (sebagai wakil) dengan Tritamtomo, ketika maju sebagai calon anggota DPD-RI pada pemilu 2014 hanya berhasil meraih 345.444 suara, jauh di bawah empat calon terpilih mewakili Sumatera Utara, yakni Prof Damayanti Lubis (662.168 suara), Rijal Sirait (445.059 suara), Parlindungan Purba (440.032 suara), dan Dedi Iskandar Batubara (430.516 suara).

Jadi, pencalegan Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus itu tak aneh sama sekali. Selagi masih ada tekad yang kuat dan didukung oleh prasyarat lain untuk tetap berada pada jalur politik, mereka tak ada halangan untuk memutuskan beralih jalur ke legislatif. Memang jelas itu turun kelas. Tapi itu kenyataan politik yang mereka harus hadapi jika masih ingin berada di jalur politik. Satu hal lain yang pasti sangat menentukan ialah bagaimana kebijakan partai. Partai yang menentukan, sama seperti Djarot Saiful Hidayat “dikirim” ke Sumatera Utara untuk menjadi calon Gubernur meski terbukti kalah.

Tetapi rasanya mungkin juga ada optimisme di sana. Karena jaringan yang mereka bentuk untuk Pilgubsu kemaren dapat dijadikan modal pergerakan selain jaringan struktur partai.

Hanya saja mereka tentu akan menjadi ganjalan serius bagi kader partai mereka sendiri yang selama ini sudah berjuang pada dapil yang sama untuk beroleh kesempatan menjadi legislator.

Akan ada disharmoni di sini. Itu pasti. Tetapi karena pucuk pimpinan partailah yang memutuskan urusan seperti ini, maka tidak ada daya untuk menolaknya. Di sini memang hitungannya lebih didasarkan pada kepentingan tertinggi, yakni kepentingan partai. Juga kepentingan pilpres yang pelaksanaannya bersamaan. Kira-kira ini bisa sedikit mengurangi kecemasan bertarung pilpres.

Jangankan mantan Cagubsu dan Cawagubsu, bahkan kini berita juga sudah tersebar bahwa mantan Gubsu HT Erry Nuradi dan mantan Wagubsu Nurhajizah Marpaung juga telah sama-sama mencalonkan diri untuk kursi di DPR-RI dari partai yang sama, yakni NasDem. Kedua politisi ini juga akan menggeser kesempatan menjadi legislatif bagi kader “penunggu”.

Bagaimana dengan catatan masa lalu? Begini:

  • Mantan Gubsu pertama SM Amin Nasution menjadi Gubernur pertama di Riau usai purna tugas untuk periode pertamanya di Sumut. Usai bertugas di Riau, kembali lagi menjadi Gubernur Sumut.
  • Mantan Gubsu Abdul Hakim Harahap pembawa PON III ke Sumut dan yang membangun Stadion Teladan itu menjadi Wakil Perdana Menteri seusai mengemban tugas sebagai Gubernur.
  • Konon EWP Tambunan menjadi Ketua RT di Jakarta pasca tugas sebagai Gubsu, sesuatu yang harus difahami dari perspektif keeksentrikan beliau.
  • Raja Inal Siregar menjadi Anggota DPD-RI setelah menjalankan tugasnya selama 2 periode sebagai Gubsu.

Hal yang saya belum dengar ialah orang-orang lama yang sudah malang melintang di partai (PDIP) seperti Efendy Naibaho, apakah akan ikut mencalon untuk kursi legislatif musim ini. Soalnya Efendy Naibaho ini saat pilgubsu 2018 yang baru usai juga giat membangun jaringan di luar jalur kepartaian.

Kawannya separtainya yang juga aktif sebagai bagian dari tim pemenangan Djoss, Samsul Hilal, pada pemilu 2019 ini maju sebagai calon anggota DPD-RI dari daerah pemilihan Provinsi Sumatera Utara.

Di sini memang akhirnya kelihatan siapa yang benar-benar independen. Berbeda dengan 2 nama dari PDIP yang aktif sebagai tim pemenangan independen pada pilgubsu 2018, bunda Dewi Budiati Teruna tetap pada keteguhannya sejak lama sebagai orang independen yang berteman dengan semua partai. Bunda ini hanya ingin memenangkan Pilpres 2019 dengan calon idolanya Prabowo Subianto. Bagi Bunda hal ini tidak untuk dikompromikan.

Foto Dewi Budiati Teruna.

Anwar Bakti Nasrallah sejalur dengan Bunda Dewi Budiati Teruna yang tetap setia dengan kerja-kerja moral di lapangan dan siap menerima perintah Mahagurunya Mohammad Amien Rais dari Jogjakartahadiningrat. “Beliau maju saya pasang badan, diperintahkan mendukung calon mana, samiktu wa atha’tu”, tegasnya.

Berdasarkan data pemilu 2014, pembagian 30 kursi DPR-RI Dapil Sumut I, II dan III tercatat tiga partai peraih 4 kursi yakni Partai Golkar, PDIP dan GERINDRA. PD, PKS, Hanura, PAN dan Nasdem masing-masing 3 kursi. Sedangkan PPP 2 kursi dan masing-masing 1 kursi untuk PKB dan PKPI.

Bagaimana pengaruh kehadiran partai-partai baru terhadap hasil perolehan kursi 2019?

Berita yang sedang saya tunggu ialah bagaimana langkah kader militan partai yang mewarnai kegesitan perhelatan pilgubsu 2018 lainnya, di antaranya: Ibrahim Sakty Batubara (PAN), Edisaputra (PAN), Sugiat Santoso (Gerindra), Aripay Tambunan (PAN), Irham Buana Nasution (Golkar), Muhri Fauzi Hafiz (Demokrat), Muchrid Choki Nasution (Golkar), Soetarto (PDIP), Djaforman Saragih (PDIP), Brilian Moktar (PDIP), Sutrisno Pangaribuan (PDIP), As Imran Khaitamy (Golkar), Suhandi (PAN), Abdullah Harahap (PBB), and last but not least Ketua kita dari PPP Sumut Yulizar Parlagutan Lubis.

Kita tunggulah.

 

Shohibul Anshor Siregar