rumusan pancasila

|Berdasarkan telaahan sejarah dan perdebatan akademis pada sidang-sidang BPUKP dan PPK, kalaupun  disebut Pancasila beroleh inspirasi besar dari Agama, sebetulnya yang dimaksud adalah Islam| 

Pekan lalu, Kamis 12 Maret 2020, sebuah Focused Group Discussion (FGD) bertema  “Islam dan Kebangsaan: Agama, Negara, Pancasila dan Kebangsaan” diselenggarakan di kampus Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU). Salah satu sub tema pembahasan ialah “Posisi Agama dalam Proses Pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia” dan tulisan ini hanya akan memberi perhatian terhadap sub tema itu.

Tema itu terasa begitu tua untuk dihadirkan kembali hari ini, setelah 75 tahun Indonesia merdeka. Sebuah buku tua karya Hamka (Urat Tunggang Pancasila, 1950:38) yang diberi pengantar oleh Mohd Natsir misalnya menutup uraiannya dengan kalimat demikian:

“Pantjasila telah lama dimiliki oleh bangsa indonesia, jaitu sedjak seruan Islam sampai ke lndonesia dan diterima oleh bangsa indonesia. Kita tak usah kuatir falsafat Pantjasila akan terganggu, selama urat tunggungnja masih tetap kita pupuk: ketuhanan jang maha esa.

Tetapi mungkin karena Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi, PhD yang belum lama ini membuat pernyataan menghebohkan (Agama Musuh Terbesar Pancasila), di mana-mana orang merasa cemas meskipun tak sedikit orang yang membenarkannya. Gambaran ini menunjukkan potensi perpecahan di tengah kondisi negara-bangsa yang tak benar-benar dalam kesehatannya yang sangat baik.

Muhammadiyah sendiri menyadari adanya potensi ancaman di tengah kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat sekaitan dengan Pancasila ini, tak hanya dalam pemahaman namun juga cukup parah dalam pelaksanaan. Karena itu melalui Muktamar 2015 di Makassar organisasi yang berdiri di Kauman Jogjakarta tahun 1912 ini telah melahirkan sebuah sikap dan pandangan ijtihadi tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai Darul Ahdi Wasysyahadah. Negara berpancasila yang dilahirkan dengan sebuah perjanjian luhur (darul ahdi), dan negara berpancasila yang harus disaksikan (diperjuangkan) dengan berjihad agar terus-menerus mampu meningkatkan capaian tujuan pembentukannya secara kuantitatif mau pun kualitatif yang dimaknai sebagai baldah thayyibah wa rabbun ghafur (negeri elok yang penuh ampunan dari Allah subhanahu wata’ala).

Ada kondisi buruk kesejarahan akibat tarik-menarik politik soal dasar filosofi bangsa (Pancasila) ini. Berbagai tindakan yang mungkin dapat disebut bersifat manipulatif atas sumber-sumber autentik tentang sejarah Pancasila, terutama risalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) dan Badan Konstituante kini tidak saja begitu menyulitkan bagi untuk memahami proses pembentukan dan niat yang berakhir dengan kesepakatan tentang Indonesia. Karena itu tak hanya soal kelahiran yang dipertengkarkan, rumusan Pancasila itu sendiri memiliki variasi yang melukiskan pertentangan besar yang abadi meski melalui berbagai upaya hukum akhirnya distandarkan. Sebelumnya setidaknya ada 12 (dua belas) versi rumusan Pancasila.

Dari catatan persidangan BPUPK bentukan penguasa militer Jepang setidaknya ada tiga rumusan yang selama ini dikenal,yakni rumusan Moh Yamin yang berbicara tanggal 29 Mei 1945, rumusan Soepomo yang berbicara pada tanggal 31 Mei 1945 dan rumusan Soekarno yang berbicara pada tanggal 1 Juni 1945. Ketiganya berbeda satu sama lain. Meskipun begitu kelihatannya rumusan Moh Yamin lebih identik dengan rumusan Pancasila (resmi) sekarang ini. Rumusan versi BPUPK sama dengan rumusan versi yang terdapat dalam Piagam Jakarta yang kelak menjadi Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945 hasil Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) atau Panitia Sembilan yang dipimpin oleh Soekarno dengan anggota Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Moh Yamin,  KH. Wahid Hasjim, H. Agus Salim, Abdoel Kahar Moezakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Alexander Andries Maramis. Bunyinya adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Rumusan sila pertama Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya akhirnya disepakati (18 Agustus 1945) untuk dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Setelah itu meski terdapat perbedaan kecil dalam kalimat namun substansi rumusan-rumusan lain cukup identik satu sama lain (Konstitusi RIS, UUDS 1950, UUD 1945, Tap MPRS No XX Tahun 1966, Tap MPR No II Tahun 1978 dan Tap MPR No XVIII Tahun 1998).

Menilik perdebatan-perdebatan pada sidang-sidang BPUPK pertentangan dua kubu besar, yakni antara yang menginginkan Indonesia merdekasebagai negara Islam atau negara sekuler. hasil rumusan Pancasila, begitu keras dan dimenangkan oleh kubu yang menginginkan negara Islam. Tidak ada voting di sana. Semuanya dilalui dengan pertarungan pemikiran akademis yang ilmiah yang mengantarkan setiap orang kepada pemahaman argumen masing-masing sebagai kesepakatan yang begitu indah dan saling memperkuat.

Cita-cita mendirikan negara Islam itu sebetulnya tidak aneh, karena kemerdekaan yang diinginkan sebetulnya adalah melepaskan diri dari penjajahan yang selain Jepang (142-1945) lima di antara bangsa yang pernah melakukannya adalah Eropa Kristen yakni Portugal (1509 – 1595), Spanyol (1521 – 1692), Belanda (1602 – 1942), Prancis (1806 – 1811) dan Inggris (1811 – 1816). Mengapa Alexander Andries Maramis dan teman-teman lain non-muslim bisa menerima bentuk negara Islam? Itu karena diskusi alot membuat mereka faham bahwa dengan negara Islam kepentingan dan kemaslahatan mereka dipastikan tak tereduksi sekecil apa pun.

Pidato penutupan Sidang Kedua dan terakhir BPUPK Dr. Radjiman Wediodiningrat Tanggal 16 Juli 1945 misalnya dapat menggambarkannya. Dalam Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta. 1998. hlm 383 disebutkan demikian:

“Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi, saya ulangi lagi, Undang-undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya. Bagaimana Tuan-Tuan? Untuk penyelesaiannya saya minta dengan hormat supaya yang setuju, yang menerima, berdiri.” Kemudian, “Saya lihat Tuan Yamin belum berdiri.” Lalu, “Dengan suara bulat diterima Undang-Undang Dasar ini. Terima kasih Tuan-Tuan…” Hadirin pun bertepuk tangan. 

Sesungguhnya yang disetujui BPUPK waktu itu adalah naskah UUD yang memuat kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang tercantum dalam Jakarta Charter sebagai pembukaannya, dan pasal 4 ayat (1), yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.”

Pertarungan pemikiran ini berlanjut hingga Sidang-sidang konstituante. Soekarno menganggap Konstituante akan deadlock dan tak akan menghasilkan sesuatu yang diharapkan, yakni konstitusi yang lebih baik dari yang pernah dirumuskan sebelumnya. Karena alasan itulah kemudian Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 berisi keputusan sikap untuk kembali ke UUD 1945.

Berdasarkan telaahan sejarah dan perdebatan akademis pada sidang-sidang BPUKP dan PPK, kalaupun dalam FGD di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara itu disebut Pancasila beroleh inspirasi besar dari Agama, sebetulnya yang dimaksud adalah Islam. Memang pertarungan pada BPUPK dan PPK selalu dimenangkan oleh pendukung negara Islam. Hanya dengan cara di luar kebiasaanlah (tanggal 18 Agustus 1945) pendukung negara Islam “dikalahkan”. Mungkin juga pertarungan pada Badan Konstituante sejatinya akan dimenangkan oleh pendukung negara Islam.

Semua yang diterangkan secara ringkas dalam artikel ini adalah keterangan sejarah yang terus-menerus harus dijernihkan. Dengan keterangan sejarah itu pula seyogyanya secara moral dan sejarah, tanggung jawab umat Islam Indonesia tidak boleh berhenti sebatas klaim sumbangan atau andil besar terhadap Indonesa dengan penghapusan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari sila pertama Pancasila.

Bagaimana agar umat Islam Indonesia tidak terus menjadi maf’ulunbih di negara yang diperjuangkannya bersama komponen pergerakan lainnya. Memang kini ada paradoks besar, sebagaimana dapat dicermati dari Prof Dr Achmad Zahro, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), Prof Dr Aminuddin Kasdi, Guru Besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Drs Choirul Anam, mantan Ketua GP Ansor Jatim, saat berbicara pada bedah buku “NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan Siapa Bertanggung Jawab?” Selasa (26/2/19).

Achmad Zahro mengatakan bahwa umat Islam digiring untuk membenci faham Wahabi sampai ada yang mengatakan bahwa Wahabi itu iblis. Kalau Wahabi itu iblis, berarti orang-orang yang shalat jamaah di Masjid Haram Mekah itu makmum kepada iblis, tegasnya. Achmad Zahro juga mengatakan bahwa HTI digambarkan sebagai kekuatan dahsyat yang hendak mengganti Pancasila dengan sistem khilafah. Padahal khilafah versi HTI itu hanya gagasan. HTI itu sangat kecil dan tidak memiliki negara induk. Beda misalnya dengan Syiah yang memiliki negara induk yaitu Iran.

Penyebaran isu HTI dan Wahabi secara massif ini, kata Choirul Anam, untuk membutakan umat Islam dari ancaman yang sesungguhnya yaitu neo komunisme. Padahal sudah terang benderang neo komunisme sudah di depan mata.

Karena itu, umat Islam wajib berjihad sebaik-baiknya agar Pancasila itu tidak menjadi dead metaphore yang tak dapat diimplementasikan dalam kehidupan.

 

Shohibul Anshor Siregar
Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASPADA
Medan, Senin, 16 Maret 2020, hlm B6