Kecurangan pemilu khususnya di negara-negara demokrasi muda menantang legitimasi para pemimpin dan lembaga tempat terpilih menjalankan mandat. Ketika individu atau partai memperoleh kekuasaan melalui cara-cara curang, otoritas dan kredibilitas mereka dikompromikan.

Prismatic Society (Fred W. Riggs, 1964) menjelaskan masyarakat transisional yang menggambarkan ketidak-matangan. Ditilik dari taraf perkembangan demokrasinya, jenis masyarakat dan negara seperti ini masih sangat labil, bahkan dengan berbagai fenomena politik pemilu penuh kecurangan. Johan Galtung (1969; 1975) dalam “Segitiga Kekerasan” menteoritisasikan bahwa bentuk kekerasan langsung (kekerasan fisik yang mudah terlihat oleh siapa saja), selalu bertalian erat dengan kekerasan-kekerasan lainnya (tidak langsung), yakni kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan budaya (cultural violence).

Dengan mengkombinasikan kedua pendekatan itu, artikel ini berusaha menjelaskan kecurangan pemilu sebagai bentuk kekerasan yang di negara-negara demokrasi muda memiliki kekhasan tersendiri. Penting terlebih dahulu mereview Sarah Birch sebelum melanjutkan penjelasan tentang karakteristik negara demokrasi muda, untuk kemudian memasuki inti pembahasan.

Buku Sarah Birch (2020) berjudul Electoral Violence, Corruption, and Political Order yang menggunakan kumpulan data lintas negara dan 14 studi kasus terperinci dari seluruh dunia, sangat relevan dirujuk karena menawarkan analisis komparatif global mengenai praktik kekerasan pemilu sejak Perang Dunia Kedua. Katanya, negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi dan institusi demokrasi yang lemah, sangat rentan gangguan kedamaian pemilu. Aktor korup menggunakan kekerasan mendukung berbagai bentuk manipulasi pemilu lainnya, termasuk pembelian suara dan penjejalan suara.

Di negara-negara demokrasi muda, faktor-faktor yang penyebab umumnya terkait dengan 4 faktor utama, yakni institusi demokrasi yang lemah, kurangnya kepercayaan publik terhadap proses pemilu, polarisasi yang menyebabkan ketegangan politik yang tinggi, dan intervensi luar (negara asing atau aktor non-negara lain).


Negara Demokrasi Muda

Tidak ada definisi yang disepakati secara universal mengenai demokrasi muda ini. Namun beberapa karakteristik umum meliputi sejarah pemerintahan otoriter, transisi menuju demokrasi yang relatif baru (biasanya dalam beberapa dekade terakhir), institusi yang masih berkembang, dan tantangan konsolidasi demokrasi seperti korupsi, lemahnya supremasi hukum, dan ketidakstabilan politik. Beberapa di antara negara demokrasi muda yang kerap disebut sebagai contoh ialah Bhutan, dulunya negara monarki absolut. Menyelenggarakan pemilu pertama pada tahun 2008, negara ini kini menjadi monarki konstitusional dengan demokrasi parlementer.

Myanmar beberapa dekade berada di bawah pemerintahan militer, memulai transisi menuju demokrasi pada tahun 2011. Pemilu pertama dalam 25 tahun pada tahun 2015, disusul kudeta militer yang mengancam masa depan demokrasinya. Moldova menjadi merdeka tahun 1991 setelah runtuhnya Uni Soviet. Negara ini telah berjuang untuk membangun demokrasi yang stabil. Kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir membuatnya kini dianggap sebagai negara demokrasi semi-konsolidasi. Indonesia mengalami transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi pada akhir 1990an dan telah menyelenggarakan beberapa pemilu. Namun masih menghadapi tantangan seperti korupsi dan kemiskinan. Afrika Selatan mengakhiri apartheid, beralih ke demokrasi tahun 1994. Mencapai kemajuan signifikan dalam hal kesetaraan ras, namun masih menghadapi tantangan seperti kemiskinan dan kejahatan.

Negara-negara ini berupaya membangun institusi dan tradisi demokrasi dengan menghadapi banyak tantangan. Juga mempunyai potensi degradatif untuk keluar dari harapan menjadi teladan bagi negara-negara lain di kawasan.

Masyarakat Transisional
Kecurangan pemilu adalah fungsi dari manifestasi transisi demokrasi tak sempurna yang diperkaya dengan keterbentukan bureaucratic authoritarianism. Institusi demokrasi yang lemah dan belum sepenuhnya membudaya, memberi keleluasaan bagi elit politik dan birokrat bekerja sama memanipulasi proses pemilu. Prevalensi praktik hubungan patron-klien di negara-negara demokrasi yang masih muda sangat meluas hingga ke proses pemilu dengan berbagai kecurangan. Pertukaran bantuan, sumber daya, atau pengaruh dalam sistem patronase sangat efektif memanipulasi hasil pemilu melalui penyuapan, pemaksaan, atau pembelian suara. Penyebabnya institusi yang lemah tak mampu mendeteksi dan mencegah praktik kecurangan.

Hubungan negara-masyarakat dalam teori Riggs mengurai kompleksitas institusi yang masih terus berkembang, interaksi antara aktor negara, elit politik, dan kelompok masyarakat rentan atas dinamika kekuasaan, korupsi, dan jaringan klientelistik. Hubungan-hubungan ini memfasilitasi kecurangan pemilu, karena aktor-aktor berkuasa mengeksploitasi posisi mereka untuk memanipulasi hasil pemilu.

Cara Mempertahankan Kekuasaan
Elit politik di negara-negara demokrasi muda sering kali memiliki dan mengkapitalisasi akses yang lebih besar terhadap sumber daya dan informasi dibandingkan dengan rakyat biasa yang memungkinkannya untuk memanipulasi proses pemilu dan menggagalkan kandidat oposisi. Teori Segitiga Kekerasan Johan Galtung memberikan kerangka kerja untuk memahami dimensi-dimensi ini, termasuk kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya.

Kekerasan langsung adalah kekerasan fisik, pemaksaan terhadap individu atau kelompok selama proses pemilu. Dalam konteks kecurangan pemilu, kekerasan langsung terwujud dalam berbagai cara (intimidasi pemilih, penyerangan, pelecehan, atau bahkan pembunuhan yang ditargetkan) yang bertujuan menekan rival atau oposisi, menghalangi pemilih, atau memanipulasi hasil pemilu. Kekerasan struktural adalah kesenjangan sistemik, struktur sosial, dan tatanan kelembagaan yang melanggengkan kerugian dan merugikan kelompok tertentu dalam masyarakat. Dalam konteks kecurangan pemilu, kekerasan struktural terwujud melalui ketimpangan akses terhadap sumber daya, atau bias institusional yang melemahkan keadilan dan inklusivitas proses pemilu. Marginalisasi komunitas tertentu membatasi kemampuan berpartisipasi secara penuh dan bebas dalam pemilu. Kekerasan budaya adalah keyakinan, norma, dan sikap dalam masyarakat yang melegitimasi, memungkinkan, atau membenarkan kekerasan langsung dan struktural. Dalam konteks kecurangan pemilu, kekerasan budaya terwujud melalui praktik-praktik seperti normalisasi praktik korupsi. Penerimaan budaya terhadap perilaku curang ini melanggengkan siklus kecurangan pemilu, sehingga semakin sulit untuk diatasi. Menciptakan lingkungan yang memusuhi praktik-praktik tersebut semakin mustahil karena sudah dipandang sebagai sebuah norma.

Memahami dimensi-dimensi kekerasan ini sangat penting untuk mengatasi kecurangan pemilu secara komprehensif. Upaya untuk memerangi kecurangan pemilu tidak hanya fokus pada penanganan tindakan kekerasan langsung namun juga mengatasi faktor struktural dan budaya yang berkontribusi terhadap praktik kecurangan. Diperlukan peningkatan kualitas sistem politik yang inklusif, mengatasi kesenjangan sistemik, peningkatan budaya penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi, dan pengembangan lingkungan yang memungkinkan warga negara berpartisipasi bebas dan aman dalam proses pemilu.

Campur Tangan Asing
The Impact of Foreign Interference on Elections in Young Democracies, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) (2020) menganalisis dampak campur tangan negara asing pada pemilu di negara-negara demokrasi muda.

Foreign Interference in Elections: Challenges and Responses yang diterbitkan oleh Carnegie Endowment for International Peace (2019) memaparkan berbagai bentuk campur tangan negara asing dalam pemilu.
Pippa Norris (2019) dalam The Dark Side of Electoral Assistance: Foreign Funding and the Erosion of Democratic Integrity membahas bagaimana pendanaan dari negara lain dapat melemahkan integritas pemilu di negara-negara demokrasi muda.

Cyber Threats to Elections in Young Democracies oleh Nathaniel Gleicher dan J. Alex Hale (2018) membahas bagaimana serangan siber telah digunakan untuk mengganggu proses pemilu di negara-negara demokrasi muda. Laporan pemerintah seperti The Intelligence Community Assessment on Russian Interference in the 2016 U.S. Presidential Election yang diterbitkan oleh U.S. Office of the Director of National Intelligence (2017) menyimpulkan bahwa Rusia mencampuri Pemilu Presiden AS 2016 untuk membantu Donald Trump.

Dalam Foreign Interference in the 2017 Australian Federal Election, Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) (2018) menyimpulkan bahwa China mencampuri Pemilu Australia 2017 untuk mendukung kandidat yang menguntungkannya. Data ini menunjukkan bahkan negara yang tergolong matang dalam berdemokrasi tak luput dari sasaran. Bagaimana pula negara-negara demokrasi muda yang dalam banyak hal memiliki kelemahan?

Apa Tindakan?
Mencegah kecurangan pemilu memerlukan upaya komprehensif, di antaranya memperkuat institusi demokrasi, meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu, mengelola polarisasi politik dengan sehat dan adil, dan mencegah intervensi pihak luar. Tetapi semua ini selalu hanya mudah dituliskan dan diucapkan.

Jenis kecurangan pemilu di negara demokrasi muda antara lain penghitungan suara yang tidak sah, penyuapan pemilih, intimidasi pemilih, dan penindasan pemilih. Media massa yang tidak adil dengan tak memberikan liputan berimbang kepada seluruh kontestan juga menjadi kerisauan. Selain itu peran lembaga-lembaga survei juga kerap mengkespresikan lemahnya pertanggungjawaban publik. Kepemihakannya kepada kontestan tertentu dan yang membuatnya berpengabdian salah menjadi komponen petugas kampanye, benar-benar merisaukan.

Sayangnya, di negara-negara demokrasi muda jarang ditemukan regulasi yang memberi panduan kerja demokratis bagi kedua pihak (para pemilik media dan para toke survei) ini.

Penutup
Kecurangan pemilu khususnya di negara-negara demokrasi muda menantang legitimasi para pemimpin dan lembaga tempat terpilih menjalankan mandat. Ketika individu atau partai memperoleh kekuasaan melalui cara-cara curang, otoritas dan kredibilitas mereka dikompromikan. Dampaknya dapat terlihat pada kurangnya penerimaan dan legitimasi baik secara domestik maupun internasional. Inisehingga melemahkan kemampuan pemerintah untuk memerintah secara efektif dan mewakili kepentingan rakyat.
Apa yang Anda petik dari pelaksanaan rentetan pemilu hingga yang terakhir (2024)? Anda puas?

Shohibul Anshor Siregar
Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASPADA
Medan, 30 April 2024