|Teori segitiga kekerasan mengasumsikan bahwa kekerasan selalu terwujud dalam tiga bentuk: kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya yang ketiganya saling terkait dan sulit untuk dipahami secara terpisah |Kekerasan langsung adalah tindakan yang menyebabkan kerusakan fisik |Kekerasan dalam bentuk politik uang sering kali melibatkan kombinasi ketiga bentuk kekerasan ini | Politik uang dapat digunakan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu dan untuk membenarkan penggunaan kekerasan langsung sekaligus menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit untuk dihentikan |

Keterlibatan aktor negara dan penyelenggara dalam kecurangan terstruktur, sistimatis dan massif yang dituduhkan, adalah salah satu sorotan penting persidangan sengketa hasil pilpres 2024 yang disiarkan dari Mahkamah Konstitusi. Tetapi pemerintah merasa benar sebagaimana tergambar dari keterangan para Menteri yang dihadirkan. Penyelenggara juga merasa sama. Gugatan menuding bahwa politik uang dan berbagai bentuk kekerasan lain yang mencolok, dirancang untuk mempengaruhi proses dan hasil pilpres. Aliran dana ke dalam politik selalu diawali pembusukan institusi negara, berujung pada distorsi cita-cita demokrasi (Larry Diamond, 2017). Erosi demokrasi makin parah dengan dukungan budaya yang menerima praktik-praktik buruk ini. Politik uang berefek nyata pada tatanan dan kesehatan demokrasi yang dapat diukur dari ketahanan demokrasi terhadap praktik-praktik korosif tersebut (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2018). Saat politik uang mengakar dan berbagai bentuk kekerasan lain muncul dengan sponsor negara (Erica Chenoweth dan Stephan Haggard, 2014), kekerasan langsung dan struktural terhadap warga kian sempurna.

Membangun kembali dan melestarikan pemerintahan demokratis pasca-kekerasan selalu membutuhkan reformasi efektif yang tidak selalu mudah (Francis Fukuyama, 2004). Beberapa faktor yang dapat mempersulit reformasi demokrasi pasca-kekerasan antara lain trauma kolektif, ketidakstabilan politik, kurangnya sumber daya dan kurangnya kemauan politik. Bagaimana aktor negara dapat sedemikian leluasa melakukan kecurangan? Interaksi antara bentuk-bentuk kekerasan tidak langsung, seperti kekerasan struktural dan budaya, dengan kekerasan langsung dalam politik uang, menghadirkan tantangan signifikan bagi integritas negara-negara demokrasi baru. Jaringan kekerasan tidak hanya rumit, tetapi juga sangat buruk, yang dapat menembus struktur sosial dan norma budaya (Johan Galtung, 1969; 1971, 1990; Edward S. Herman and Noam Chomsky, 1988; John Burton, 1990; Barbara John, 2005).

Teori segitiga kekerasan mengasumsikan bahwa kekerasan selalu terwujud dalam tiga bentuk: kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya yang ketiganya saling terkait dan sulit untuk dipahami secara terpisah. Kekerasan langsung adalah tindakan yang menyebabkan kerusakan fisik.

Kekerasan dalam bentuk politik uang sering kali melibatkan kombinasi ketiga bentuk kekerasan ini. Politik uang dapat digunakan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu dan untuk membenarkan penggunaan kekerasan langsung sekaligus menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit untuk dihentikan. Namun, pemberantasan kekerasan langsung saja tidak cukup untuk menyelesaikan penderitaan rakyat. Akar permasalahan, yaitu kekerasan tidak langsung (struktural dan budaya), sering kali tersembunyi dan sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Pihak yang bertanggung jawab atas keberadaan berbagai bentuk kekerasan struktural dan budaya yang mendukung dan melestarikan berbagai jenis kekerasan lain sering kali terhindar dari perhatian publik karena pengaruh kekuasaan mereka.

Kekerasan struktural lebih berbahaya, tertanam dalam kerangka politik dan ekonomi yang merugikan kelompok terluas masyarakat, sehingga menyebabkan ketidaksetaraan kesempatan hidup dan penindasan sistemik. Kekerasan budaya mencakup norma-norma dan ideologi masyarakat yang menumbuhkan sikap permissiveness (nrimo dalam ketakberdayaan) sehingga membenarkan kelanggengan kekerasan langsung dan struktural, yang seringkali terlegitimasi oleh para pihak yang dipandang memiliki otoritas dalam melakukan artikulasi khususnya berdasarkan kacamata agama, bahasa, dan seni.

Rekomendasi apa yang harus dibuat? Johan Galtung menginginkan perluasan definisi kekerasan untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang penyebab dan akibatnya. Bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga harus mencakup kekerasan langsung (kerusakan fisik), kekerasan struktural (kerusakan tidak langsung yang disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil), dan kekerasan budaya (norma masyarakat yang melegitimasi kekerasan). Setiap bentuk kekerasan saling memengaruhi dan memperkuat, sehingga pada dasarnya menciptakan jaringan kekerasan yang kompleks dan terus-menerus berkembang.

Kemiskinan dan kekerasan memiliki hubungan erat dan menjadi salah satu bentuk kekerasan struktural, yang sering kali mengarah pada kondisi yang menumbuhkan keputusasaan dan akumulasi perasaan kebencian dan dapat berkontribusi signifikan terhadap ledakan kekerasan langsung. Kekayaan alam yang luar biasa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan negeri ini silih berganti dijajah Portugis (1509-1595), Spanyol (1521-1692), Belanda (1602-1942), Perancis (1806-1811), Inggris (1811-1816), dan Jepang (1942-1945). Indonesia meraih kemerdekaannya tahun 1945. Bagaimana perbedaan kehidupan rakyat di bawah pemerintahan merdeka yang berdaulat dibandingkan dengan masa penjajahan? Meskipun kaya sumber daya alam, Indonesia belum berhasil mencapai kesejahteraan yang merata. Para pendiri bangsa telah dengan jelas menetapkan cita-cita nasional dalam Pembukaan UUD 1945, meliputi: penghapusan penjajahan di seluruh dunia, perlindungan bangsa dan tanah air, peningkatan kesejahteraan umum, peningkatan kecerdasan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Antara das sollen dan das sein begitu lebar jurang ternganga. Makroekonomi konstitusi tak pernah dibangun secara berkesungguhan. Jika hingga hari ini keamanan pangan, misalnya, tetap menjadi masalah serius di negeri super agraris ini, pertanyaan tertuju pada pencarian jawaban atas bagaimana cara merdeka, berdaulat dan mengurus rakyat sendiri oleh pemerintahan sendiri dan dengan memanfaatkan secara tepat kekayaan sumberdaya tersedia.

Empat faktor utama sebagai penyebab. Pertama, akibat terlalu lama dijajah bangsa asing, sindrom inlanderitas menjadi penyakit dengan simptoma ketakmampuan memahami diri dan cita-cita serta misi bangsa sendiri. Rasa rendah diri yang parah kerap menyebabkan para elit hanya mampu menjadikan peran komprador sebagai cita-cita tertinggi.

Kedua, terlalu tunduk pada dikte asing (bangsa, negara, lembaga atau korporasi). Bisa saja pemerintahan sangat tergiur dengan bantuan asing dan karena tak kritis tak mampu berusaha melihat secara menyeluruh agenda yang bukan tak bertujuan eksploitatif. Mahathir Mohammad berhasil terpilih kembali menjadi Perdana Menteri setelah pensiun. Tema kampanyenya antara lain kedaulatan perekonomian dan secara terang-terangan menyorot kerugian negara atas pola kerjasama dalam proyek ambisius One Belt One Road (OBOR) yang belakangan berubah nama menjadi Belt and Road Inisiative (BRI). Menuntut pola kerjasama agar tak mereplikasi penderitaan yang sama dengan berbagai negara yang ditimpa jeratan loan to own ala BRI, menjadi tuntutan diplomasi Mahathir Mohammad kepada Xi Jinping atas nama keadilan, kesetaraan dan kebaikan untuk semua. Dengan negara manakah Indonesia akan berperang 50, 40, 30, 20, 10, 5 tahun ke depan atau tahun depan sehingga menganggap begitu mendesak membeli alutsista yang dipandang sebagai peralatan tempur terbaru dan terbaik untuk negeri ini (meski pun itu barang bekas dan yang sudah pernah ditolak oleh Indonesia walau waktu itu akan dihibahkan)?

Ketiga, penjajahan oleh bangsa sendiri. Penjajahan tak berdefinisi tunggal. Ketika Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) disahkan, kritik ditujukan tak hanya pada proses pembahasan tertutup, cepatnya pengesahan, dan ketidakpastian hukum karena pasal-pasal yang terlalu padat dan tumpang tindih berpotensi menimbulkan multitafsir di kemudian hari. Tetapi juga pada kecurigaan pada potensi melemahkan kesejahteraan buruh terutama terkait dengan pengaturan jam kerja, pengecualian cuti, upah minimum, kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang pada akhirnya dikhawatirkan buruh akan kehilangan hak-haknya dan semakin rentan terhadap eksploitasi. Juga dikhawatirkan dapat memperlebar kesenjangan antara pengusaha dan buruh dan pemosisian lebih kuat buruh sebagai komoditas belaka.

Keempat, akses dan distribusi. Dulu penjajah hanya menginginkan pengakuan dan pengesahan tertentu atas “hak eksploitasi” terhadap sumberdaya. Selebihnya bukan urusannya. Segalanya disubordinasikan di bawah kepentingan agregat keuntungan yang dapat dibawa ke negerinya. Situasi itu tak berakhir saat kemerdekaan. Rempang hanyalah salah satu dari ratusan contoh terbesar yang terjadi sepanjang Indonesia merdeka. Bukti pengelolaan kekayaan sumberdaya ekonomi tidak dikendalikan sesuai kehendak konstitusi.

Meskipun tidak ada solusi otomatis untuk mengatasi dampak kemiskinan terhadap berbagai bentuk kekerasan, kondisi yang menantang keadilan ini sering kali diatasi dengan kombinasi pengkondisian budaya dan kebijakan sekuritisasi yang represif. Kebijakan seperti ini telah ada sepanjang sejarah, dan versi serta penyesuaiannya yang baru muncul bertujuan untuk memastikan efektivitas pembungkaman atas potensi ledakan kekerasan.

Senada dengan Galtung, Pierre Bourdieu (1977, 1980, 1984, 1989) dan Richard Jenkins (1998, 2001) menjelaskan bagaimana struktur sosial dan budaya dapat mereproduksi ketidakadilan dan kekerasan dengan menggunakan konsep “habitus” untuk menggambarkan bagaimana individu menginternalisasi norma dan nilai masyarakat, yang kemudian mempengaruhi perilaku dan tindakan mereka. Kekerasan struktural sering kali tersembunyi dan dinormalisasi, sehingga sulit untuk dikenali dan ditantang. Hal ini karena kekerasan tersebut tertanam dalam struktur sosial dan budaya yang dianggap “alami” dan “benar”. Ketidakadilan yang melekat dalam struktur ini dapat menyebabkan berbagai bentuk kekerasan, seperti kemiskinan, diskriminasi, dan penindasan.

Sistem demokrasi memiliki celah lebar yang memungkinkan pengabadian berbagai bentuk kekerasan struktural dan budaya. Berapakali pergantian rezim lagi untuk menghadirkan kemerdekaan?

Rujukan
Levitsky, Steven, and Daniel Ziblatt (2018). How Democracies Die. New York: Crown Publishing Group.
Chenoweth, Erica, and Stephan Haggard (2014). Why Civil Resistance Works. New York: St. Martin’s Press.
Fukuyama, Francis (2004). State Failure: Causes and Consequences. New York: Cornell University Press.
Galtung, Johan (1969). Violence, Peace, and Peace Research. Copenhagen: Christian Ejlers Publisher.
Galtung, Johan (1971). The True Costs of Peace. Oslo: International Peace Research Institute.
Galtung, Johan (1990). Measuring and Monitoring Peace: Peace Indicators and Data. London: Taylor & Francis.
Herman, Edward S., and Noam Chomsky (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York: Vintage Books.
Burton, John (1990). Violence, Peace and Conflict Analysis. New York: Routledge.
John, Barbara (2005). Uneven Ground: Feminist Theory in Public. New York: Columbia University Press.
Bourdieu, Pierre (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre (1980). The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press.
Bourdieu, Pierre (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. Cambridge: Harvard University Press.
Bourdieu, Pierre (1989). In Other Words: Essays Towards a Reflexive Critique. Cambridge: Polity Press.

Shohibul Anshor Siregar
Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASPADA
Medan, Senin, 22 April 2024