Jika dalam pilpres dan pileg seolah tiada hukum dan institusi kepemiluan yang tersedia dan yang telah dibangun dengan niat sungguh-sungguh untuk berkapasitas mencegah, menindak dan menghukum pelaku kejahatan struktural dan kultural untuk mempengaruhi hasil, terutama money politik, intimidasi, politik gentong babi dan lai-lain, maka akan dinamai apa pemilu dengan karakter yang diwarnai kental oleh perlakuan melawan hukum (kecurangan) terstruktur, sistimatis dan massif (TSM)?

Meski pemilu Indonesia adalah pengarusutamaan one person one vote, Sistim Noken di belasan wilayah Papu tetap dihargai. Secara etimologi, Noken adalah jenis tas anyaman serat kulit kayu yang bernilai penting bagi masyarakat Papua. Anda katakan itu buruk? Melambangkan tradisionalitas berbanding demokrasi? Jangan-jangan Noken dapat menjadi pembanding atas praktik pemilu saat ini.

Noken memasilitasi kesepakatan (aklamasi) pemberian suara dalam pemilu  yang dilakukan masyarakat sesuai nilai adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang berlaku. Tidak identik kotak suara. Sehari sebelum pencoblosan, kelompok masyarakat bermusyawarah menentukan pilihan, dipimpin pemegang otoritas tertinggi suku dan diikuti pemilih terdaftar pada TPS yang sama. Noken menginginkan nilai intrinsik demokrasi yang sesuai budaya lokal. Juga ampuh meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu, dan mengeliminasi potensi konflik. Dari segi itu diplomasi dan negosiasi politik Papua terhadap Indonesia cukup berhasil membentengi diri dari rembesan pernyebaran demokrasi universal. Mungkin kurang lebih sebanding dengan keberhasilan Daerah Istimewa Aceh dalam mendirikan partai lokal, dan keberhasilan Daerah Istimewa Jogjakarta melestarikan hak istimewa Sultan sebagai Gubernur tanpa pemilihan sebagaimana pilkada.

Tetapi demokrasi Papua, Aceh, dan Jogjakarta, dalam derajat tertentu, sebetulnya sama-sama tersubordinasi ke sebuah sistim nasional. Noken tak diawali penentuan sendiri kandidat untuk dikontestasikan. Daftar caleg dan daftar Capres, kecuali untuk DPD, semuanya tetap mengikuti kehendak partai. Aceh juga tak mengajukan (terpisah dari sistim nasional) caleg DPR, dengan mekanisme pemungutan suara melalui partai lokal. Begitu juga Jogjakarta tak menunjuk, di luar mekanisme pilkada, para Bupati dan Walikota.

Saat Indonesia telah melakukan pemilu pertamanya tahun 1955, Amerika masih sibuk diskusi keras yang terkadang berdampak konflik berdarah untuk mempertimbangkan hak suara kulit hitam. Di berbagai negara lain waktu itu bahkan hak perempuan pun masih dipandang sebelah mata. Kedua fenomena itu seolah paradoks dengan kemajuan demokrasi yang mereka capai. Tetapi kontroversi ini berawal dari cara pandang tentang suara seseorang dalam demokrasi. Jika perempuan masih disubordinasi oleh laki-laki, maka aspirasinya tak terjamin kemurniannya dalam kertas suara di TPS. Bias itu dianggap jauh lebih penting disingkirkan ketimbang secara membabi buta mengedepankan urgensi hak normatif yang dipertimbangkan tak akan terlaksana dengan mutu yang dikehendaki oleh demokrasi.

Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya memiliki sejarah panjang perbudakan. Meski mengadopsi demokrasi sebagai landasan sistim politik dan pemerintahan, secara paradoks pernah masih menganggap budak (kulit hitam) tak memiliki keleluasaan mengekspresikan aspirasi politiknya meski berada di bilik TPS. Tesis besar  Noken yang menentang demokrasi adalah mutu aspirasi politik pada suara pemilu. Dalam model partai lokal Aceh nada imperatif regulasi yang terlalu jauh dari pemerintahan nasional dibendung meski secara amat terbatas untuk pengakomodasian keberadaan partai lokal. Sedangkan dalam sistim suksesi gubernur yang mengacu pada nilai-nilai kesultanan di Jogjakarta pemerintah nasional memangkasnya untuk tak mencakup penunjukan Bupati dan Walikota oleh Sultan.

Padahal sejatinya sama dengan hak prerogatif Presiden menunjuk para pembantunya, atau para kepala daerah menunjuk orang-orang untuk menduduki jabatan pada organisasi-organisasi satuan kerja di lingkungannya, bias subjektifitas atau motif KKN tak terjamin terhindar. Mungkin hanya mitos demokrasilah yang membenarkan bahwa penunjukan menteri oleh presiden sangat demokratis sedangkan penunjukan kepala daerah sebaliknya. Padahal yang disebut daerah itu sangat tak terdesentralisasi. Mitos itu membutakan nalar dan sengaja dihidupkan.

Di tengah kelaziman membanggakan capaian demokrasi, fenomena aneh pun muncul. Tidak jelas apakah untuk kapitalisasi sistim bagi tujuan amat adhock tertentu, tetapi dalam usulan Undang-Undang (UU) tentang Daerah Khusus Jakarta (setelah terbitnya UU Ibu Kota Negara) terdapat keinginan agar Gubernur Jakarta ditunjuk Presiden. Banyak partai dan masyarakat sipil yang menolak. Demokrasi yang digandrungi Indonesia tidak baik-baik saja. Masalahnya menyebar, termasuk menyangkut hubungan pusat-daerah. Tak banyak diplomasi politik bertema konflik pusat-daerah ini yang berhasil. Uniformitas pemerintahan terendah sudah berhasil hampir tuntas dilakukan, hanya menyisakan beberapa daerah yang tetap tak menggunakan terminologi Jawa yang diindonesiakan (Desa, misalnya).

Untuk pemilu 2024 persengketaan yang kemungkinan besar akan dilanjutkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tak cuma soal perselisihan suara Pilpres yang digugat oleh Pasangan Calon (paslon) 01 dan 03. Tetapi sengketa pilpres mencapai 718 (26%) kasus, mendominasi keseluruhan. Kasus DPR RI 601 (22%) kasus, DPD 480 (18%) kasus, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota sama-sama 469 (17%) kasus. Dari https://pemilu2024.kpu.go.id/pilpres/daftar-sengketa diketahui bahwa kasus-kasus itu berujung pemungutan suara ulang atau susulan atau lanjutan, baik seluruhnya maupun sebagian.

Apa pokok persoalannya? Berbagai narasi apologetik dan eufimistik tak mungkin tak berujung pada kesimpulan integritas penyelenggaraan pemilu yang bermasalah; ketika suara pemilih diduga tidak diadministrasikan secara jujur untuk merefleksikan 100 % aspirasi pemilih yang disalurkan melalui pencoblosan kertas suara di TPS; atau jika orang-orang sudah terlebih dahulu dibayar sebelum ke TPS. Mungkin inilah yang menjadi argumen besar di balik kebertahanan belasan wilayah di Papua enggan bergeser dari sistim Noken. Mereka tegas menghindari manipulasi dan ingin suara rakyat teradministrasikan secara jujur sejujur-jujurnya dan adil seadil-adilnya.

Sebaliknya, dengan melanggar Pancasila (sila ke 4), demokrasi Indonesia bergembira memilih langsung Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dulu berwenang mengangkat dan memberhentikan Presiden, atas nama rakyat dengan logika perwakilan DPR lokal berwenang memilih  Gubernur, Bupati dan Walikota, sudah digantikan oleh hiruk-pikuk yang setia pada skenario oligarki dengan mekanisme terduga tranksaksi massif. Sistim ini sangat dibanggakan para pendiri bangsa, termasuk oleh Soekarno yang karena pidatonya, tak terkecuali tentang sila perwakilan ini, pada tanggal 1 Juni 1945, menjadi salah satu alasan kuat bagi sebagian orang lebih melekatkan namanya dengan Pancasila dibanding pendiri bangsa yang lain.

Tetapi jika transaksilah yang akhirnya menjadi penentu dalam “belanja besar” membeli tiket presidential threshold  20% untuk pencalonan presiden, dan jika rumus yang sama juga diberlakukan dengan ditambah regulasi pinasti lainnya bahwa kewenangan penuh petinggi partai politik di Jakartalah yang menjadi penentu calon kepala daerah, maka seburuk apa mitos demokrasi yang dianut saat ini? Jika dalam pilpres dan pileg seolah tiada hukum dan institusi kepemiluan yang tersedia dan yang telah dibangun dengan niat sungguh-sungguh untuk berkapasitas mencegah, menindak dan menghukum pelaku kejahatan struktural dan kultural untuk mempengaruhi hasil, terutama money politik, intimidasi, politik gentong babi dan lai-lain, maka akan dinamai apa pemilu dengan karakter yang diwarnai kental oleh perlakuan melawan hukum (kecurangan) terstruktur, sistimatis dan massif (TSM)?

Akan ada orang yang menganggap paparan ini fitnah dan tuduhan tak berdasar. Tetapi, setidaknya terdapat beberapa alasan untuk menepis itu. Ingatlah dukungan sosial untuk penggunaan Hak Angket oleh DPR begitu luas di tengah masyarakat agar dilakukan penyelidikan atas berbagai bentuk kecurangan pemilu, yang kemudian diikuti rentetan unjuk rasa dukungan yang masih terus berlangsung meski tak beroleh perhatian proporsional dari media.

Tentu fakta gugatan paslon 01 dan 03 yang sama-sama menyampaikan petitum diskwalifikasi salah satu pasangan, dan kini sedang disidangkan di MK, bukan pekerjaan tak beralasan hukum dan politik yang kuat.

Sebelumnya masih amat segar dalam ingatan publik tentang paparan data dalam filem dokumenter Dirty Vote. Jika tak memiliki kesahihan dan yang jika oleh entah siapa dianggap sebagai fitnah, tentu filem itu akan dikejar untuk meminta pertanggung jawaban hukum.

Demokrasi Indonesia masih dapat diperbaiki. Syaratnya, selesaikan tuntas (berkeadilan) sengketa di MK dan pelaksanaan Hak Angket di DPR. Harus ada moralitas dan tekad kuat tak melanjutkan ketidak beresan pemilu 2024 ke pilkada serentak 27 Nopember 2024.

Shohibul Anshor Siregar
Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASPADA
Medan, Senin, 1 April 2024