Sebagaimana Jan Drahokoupil, dalam Encyclopaedia Britannica, menjelaskan, Siklus Bisnis Politik (SBP) sebagai fluktuasi aktivitas ekonomi yang diakibatkan oleh intervensi eksternal aktor politik, digunakan untuk menggambarkan rangsangan perekonomian sesaat sebelum pemilu guna meningkatkan prospek pemerintahan yang sedang menjabat untuk terpilih kembali. Meski kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif memiliki konsekuensi politik yang populer dalam jangka pendek, namun konsekuensinya tidak menyenangkan dalam jangka panjang. SBP sebagai manipulasi kebijakan ekonomi atau perilaku strategis tertentu lainnya, untuk meningkatkan peluang keterpilihan kembali dalam kontestasi politik, memiliki berbagai dampak negatif terhadap ekonomi dan kesejahteraan sosial selain legitimasi hasil kontestasi politik (pemilu) yang akan terus dipertanyakan dari sudut demokrasi.

Kompas.tv (1 Februari 2024, 05:45 WIB) menuding pemerintah menggenjot Bantuan Sosial (Bansos) jelang hari pemungutan suara pemilu, Februari 2024. Selain mengumumkan BLT yang dirapel tiga bulan sekaligus, Joko Widodo juga mengumumkan bansos beras hingga Juni 2024, sesuatu yang memunculkan kembali spekulasi mengenai politisasi bansos.

”Ini (bantuan beras) nanti akan diberikan pada Januari, Februari, Maret, setuju mboten? Yang tidak setuju angkat tangan. Setelah Maret akan dilanjutkan lagi April, Mei, Juni, setuju mboten?” kata Joko Widodo saat menyerahkan bansos beras di Gudang Bulog Sendangsari, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (30/1).

Menurut penelitian Vid Adrison, tanpa dukungan Presiden Joko Widodo dan kucuran Bansos, suara paslon 02 hanya 42,38%, dan ini tidak menyimpang dari hasil survey beberapa lembaga survey seperti Charta Politika (4-11 Januari 2024) yang hanya 42,20%. Bagaimana ahli dari Fakultas Ekonomi UI ini tiba pada kesimpulan itu? Data akademik yang kuat, berbasis metode dan analisis ekonometrika, untuk mengkuantifikasi faktor yang mempengaruhi perolehan suara paslon 02 yang didukung Joko Widodo pada pilpres 2024, dipaparkan dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), pekan lalu. Dengan judul “Dampak dari Bansos terhadap Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum 2024”, Vid Adrison memaparkan, penurunan anggaran bansos dari tahun 2021 ke 2022 terjadi sebesar 1,7%, dan sebesar 4,6% dari tahun 2022 ke 2023. Pada tahun pemilihan umum 2024, terjadi peningkatan signifikan  12,4%, dengan total anggaran mencapai Rp496 triliun.

Di provinsi dengan tingkat kemiskinan 10%, pemberian Bansos meningkatkan margin sebesar 6,26-9,0%. Margin ini belum memperhitungkan dampak Bansos adhock lainnya seperti yang pada tahun 2023 terdapat Bantuan Langsung Tunai (BLT) El-Nino, BLT desa; dan untuk tahun 2024 BLT Mitigasi Risiko Pangan dan Bantuan Pangan Beras. Avid Adrison menuding Bansos diklaim 100% sebagai kebaikan karitatif Joko Widodo, dan masyarakat tidak berpeluang menyangkal. Bansos menyasar kelompok miskin (targetted) dengan nilai Rp 200 ribu. Jumlah itu akan jauh lebih tinggi nilainya bagi masyarakat miskin dibanding berpenghasilan tinggi. Perilaku myopic masyarakat, yakni kecenderungan memperhatikan sesuatu yang lebih dekat terjadi dibanding dengan yang sudah lama, atau terjadi beberapa tahun yang akan datang, berperan di sini.

Masyarakat berpenghasilan dan berpendidikan rendah rawan myopic. Mereka masih berjuang pada titik memenuhi kebutuhan dasar. Pemahaman atas implikasi jangka panjang berbobot rendah dalam membuat keputusan, termasuk dalam pilpres. Survey LSI mengkonfirmasi, bahwa 69% penerima Bansos memilih paslon 02 dalam pilpres 2024.

Menyoal dampak kunjungan Joko Widodo, menurut Vid Adrison pada periode 22 Oktober 2023 hingga 1 Februari 2024, Joko Widodo berkunjung ke 30 Kabupaten/Kota dan membagikan 44 bantuan yang 50% dipusatkan di Jawa Tengah dengan total bantuan Rp 347,2 miliar. Ini belum mencakup Bantuan Modal Kerja Pedagang. Ada kenaikan perolehan suara paslon 02 yang cukup besar jika dibandingkan dengan perolehan suara Prabowo-Sandiaga pada pilpres 2019 dengan rata-rata kenaikan 32% (kenaikan terkecil 6,39% dan terbesar 66,38%). Menjawab pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK),  Vid Adrison mengafirmasi signifikansi faktor kemiskinan dan pendidikan.

Meski Siklus Bisnis Politik (SBP) semacam ini dilakukan di hampir semua negara, namun di negara berkembang efektivitasnya sangat besar karena ketidakmampuan memahami (karena faktor kemiskinan dan pendidikan) implikasi pilihan politik. SBP adalah upaya memanipulasi kebijakan fiskal untuk mempengaruhi hasil pemilu. Contoh klasik ditemukan dalam tindakan Presiden Carlos Menem pada tahun 1990an. Ia mengandalkan peningkatkan belanja publik dan pemotongan pajak sebelum pemilu untuk mendapatkan dukungan pemilih. Untuk perbandingan kasus SBP di negara mapan demokrasi dan negara demokrasi baru, Brender & Drazen (2005) melaporkan dalam Political budget cycles in new versus established democracies; Journal of Monetary Economics, 52(7) hlm 1271-1295, dengan bukti efektivitas yang jauh lebih kuat di negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia. Kerawanan dalam konteks negara-negara berkembang disorot dari kasus manuever petahana di India (Chhibber & Kollman, 2004; Chhibber & Nooruddin, 2004), Ghana (Asante & Klobodu, 2012), Vietnam (Malesky & Schuler, 2011).

Teori SBP didasarkan pada beberapa asumsi, di antaranya, pertama, para ekonom secara umum sepakat bahwa terdapat trade-off jangka pendek antara tingkat pemanfaatan dan lapangan kerja dalam perekonomian dan tingkat inflasi. Kedua, politisi diasumsikan sebagai aktor rasional yang mengutamakan tujuan politik jangka pendek dan amat adhock, yakni kemenangan dalam pemilu. Rogoff (1988) dalam Elections and macroeconomic policy cycles; The Review of Economic Studies, 55(1) hlm 1-16, mengeksplorasi hubungan antara pemilu dan siklus kebijakan makroekonomi sekaligus memberi wawasan teoretis dan bukti empiris yang kuat di berbagai negara. Hal yang ditemukan dalam laporan Alesina & Roubini (1992): Political cycles in OECD economies; Review of Economic Studies, 59(4) hlm 663-688. Model analisis SBP ini juga didokumentasikan di berbagai negara Eropa. Petahana di Italia mengubah kebijakan anggaran pada tahun pemilu, khususnya dengan menaikkan gaji sektor publik, yang secara langsung berdampak pada sebagian besar pemilih (Brender & Drazen, 2013 dan Hayo & Hefeker, 2002).

Dengan memanipulasi kebijakan fiskal, khususnya melalui peningkatan belanja atau pemotongan pajak sebelum pemilu, petahana dapat mempengaruhi persepsi pemilih dan berpotensi mempengaruhi hasil pemilu yang menguntungkan mereka.  Peningkatan signifikan dalam dukungan pemilu terhadap petahana terutama terjadi di negara-negara yang di dalamnya SBP lebih menonjol dan pemilihnya tidak sepenuhnya menyadari dampak fiskal jangka panjang dari tindakan “kemurahan hati sebelum pemilu”. Hubungan antara SBP dan perilaku pemilih bergantung pada konteks politik dan ekonomi suatu negara. Negara-negara demokrasi muda atau negara-negara dengan transparansi dan kebebasan media yang kurang, para pemilih lebih terpengaruh. Sebaliknya, di negara demokrasi yang lebih mapan dengan tingkat pendidikan pemilih dan pengawasan media yang lebih tinggi, para pemilih lebih skeptis terhadap perubahan fiskal yang tiba-tiba dan dapat memberikan sanksi kepada petahana karena dianggap melakukan intervensi atas pemilu yang integritasnya merosot.

Sebagaimana Jan Drahokoupil, dalam Encyclopaedia Britannica, menjelaskan, SBP sebagai fluktuasi aktivitas ekonomi yang diakibatkan oleh intervensi eksternal aktor politik, digunakan untuk menggambarkan rangsangan perekonomian sesaat sebelum pemilu guna meningkatkan prospek pemerintahan yang sedang menjabat untuk terpilih kembali. Meski kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif memiliki konsekuensi politik yang populer dalam jangka pendek, namun konsekuensinya tidak menyenangkan dalam jangka panjang. SBP sebagai manipulasi kebijakan ekonomi atau perilaku strategis tertentu lainnya, untuk meningkatkan peluang keterpilihan kembali dalam kontestasi politik, memiliki berbagai dampak negatif terhadap ekonomi dan kesejahteraan sosial selain legitimasi hasil kontestasi politik (pemilu) yang akan terus dipertanyakan dari sudut demokrasi. Selain itu, praktik rent-seeking dan korupsi juga sangat rawan yang selain mengganggu pasar dan mengurangi efisiensi ekonomi, pada akhirnya juga merugikan masyarakat. SBP menyebabkan distorsi pasar dan menguntungkan segelintir pihak yang memiliki koneksi politik, sedangkan masyarakat luas tidak mendapatkan manfaat yang sama. Kesenjangan sosial dan ekonomi yang melebar akan sekaligus juga menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Kebijakan ekonomi dengan mengubah prioritas anggaran menjelang pemilu, yang dimaksudkan untuk menguntungkan beberapa sektor, tak hanya merugikan yang lain. Tetapi juga menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan sosial yang berdampak luas. Pemilih dan pengamat ekonomi tak selalu memahami dinamika ini. Karena itu tak begitu terdengar dorongan transparansi serta akuntabilitas agar kebijakan benar-benar mewakili keadilan dan kepentingan jangka panjang bagi masyarakat dan negara (David R. Harvey and Terence Mills, 2002; Gustav F. Papanek, 1981; Ray T. S. Hutabarat, 2011; Stephan Haggard, Steven B. Webb, and Robert R. Kaufman, 2001; Terence Mills and David R. Harvey, 2002). Para pemimpin non-demokratis juga membuat insentif untuk mengalokasikan anggaran dan kredit kepada mitra strategis mereka, namun, tanpa pemilu yang teratur, mereka hanya mempunyai sedikit alasan untuk terlibat dalam manipulasi kebijakan fiskal dan moneter yang oportunistik. Menurut para ahli, persaingan politik secara sistematis mempengaruhi kebijakan fiskal dan moneter dengan cara yang merugikan kesejahteraan perekonomian secara umum. Preferensi kebijakan tidak sejalan dengan kebutuhan perekonomian, dan oleh karena itu, tidak dapat dipercaya untuk melaksanakan kebijakan moneter dan fiskal yang tepat.

Jika kredibilitas kebijakan ingin dicapai, otoritas publik harus mampu membuat komitmen moneter dan fiskal yang independen dari persaingan politik. Untuk melakukan hal ini, diperlukan perubahan institusi sehingga perhitungan politik dihilangkan dari pembuatan kebijakan moneter. Setelah menghadirkan beberapa menteri, terasa sangat penting memanggil Joko Widodo untuk dimintai keterangan dalam sidang lanjutan PHPU di MK. Para menteri itu hanya pembantu presiden menurut UUD 1945. Para menteri memberi kesaksian bahwa tidak ada sedikit pun penyimpangan dalam kebijakan dan pola distribusi berbagai jenis bantuan perlindungan sosial (termasuk bansos) untuk menegasikan tuduhan bahwa SBP ala Indonesia itu benar-benar secara signifikan telah mengubah hasil pilpres 2024. MK tidak boleh percaya begitu saja. Bahkan jumlah dana kampanye milik sendiri saja wajib dikontrol, apalagi yang berasal dari luar, untuk memastikan tiadanya faktor di luar mekanisme elektoral murni yang mempengaruhi hasil pilpres 2024. Lagi pula, di dunia mana SBP ala Indonesia itu dianggap normal untuk demokrasi? MK harus mendengar suara rakyat yang menuntut keadilan.

Shohibul Anshor Siregar
Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASPADA,
Medan, Senin, 15 April 2024