Pada akhirnya, walaupun potensi konflik tidak dapat diabaikan, keberhasilan pengelolaan dinamika ini, melalui kombinasi reformasi kelembagaan, rekonsiliasi politik, dan mengatasi ketegangan sosial dan ekonomi, akan sangat penting untuk menjaga stabilitas dan konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-Joko Widodo.

Sengketa pilpres 2024 telah diakhiri oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan ketertolakan petitum-petitum pasangan calon (paslon) 01 dan 03. Kalimat hakim konsitusi, Saldi Isra, “MK bukan keranjang sampah”, cukup menyengat. Tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan hal-hal yang tak terlihat di dalam persidangan.

Rupanya MK tak tahu praktik dahsyat nepotisme proses pilpres. MK masih dalam taraf ingin tahu apakah benar ada mobilisasi pejabat negara, ketidaksehatan fungsi penyelenggara, dan personifikasi bantuan-bantuan sosial. Jika pun semua itu sangat mempengaruhi hasil pilpres, menurut paslon 01 dan 03, menurut MK tidak ada bukti yang meyakinkan.

Narasi pada 16 dari puluhan amicus curiae tak berpengaruh. Juga gelaran unjuk rasa. Tetapi kekuatan politik di DPR masih belum menggambarkan kepastian tentang agenda pelaksanaan Hak Angket. PDIP pun masih belum mau menerima kekalahan. Terus bertekad menuntut keadilan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dengan atau tanpa keterkaitan dengan proses pilpres 2024, satu hal yang ke depan akan semakin terbuka ialah potensi konflik antara kubu politik Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (anak sulung Joko Widodo). Persoalan ini memerlukan telaah sejarah, budaya politik dan rujukan atas kompleksitas permasalahan (internal dan eksternal) Indonesia kontemporer.

Indonesia tak baik-baik saja dipimpin Joko Widodo; bahkan mewariskan banyak masalah mirip bom waktu (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Dalam urusan geopolitik cukup sukar menemukan dasar-dasar yang kuat yang diletakkan Joko Widodo untuk Indonesia. Tentu tak sebatas urusan mencari recehan dari ketegangan China dan Amerika dengan poros masing-masing.

Dinamika kompleks ini potensil menjadi titik awal ketidakstabilan era pasca-Jokowi. Pertama, kontribusi ambisi politik yang bersaing. Prabowo Subianto menikmati popularitas berdurasi panjang. Ini tak hanya terkait basis dukungan partai “miliknya”, namun juga dipengaruhi keberulangan kehadiran pada setiap Pemilihan Presiden sejak lama. Tentu ia sadar Gibran itu masih sangat belia dan tanpa kemampuan, namun tak sendirian. Karena bapanya juga punya sesuatu untuk diperjuangkan.

Prabowo sadar telah Gibran sebagai jembatan pilpres dengan risiko kontroversi nilai, hukum dan politik yang berkepanjangan. Karena itu berayun di antara wajib mereward dan waspada tingkat tinggi akan menerpanya selama tahun pertama kepemimpinannya. Sebagai bintang pertama dinasti politik Indonesia yang potensil membangun basis kekuatan politik sendiri, Bibran sedang naik daun dengan koneksi keluarga dan pengaruh besar dalam oligarki.

“Tanpa bapa saya, Presiden Joko Widodo, apa peluang Prabowo memenangi Pilpres?” Bukankah perasaan itu yang dapat disimpulkan dari kalimat pendeknya saat pertemuan publik pertama pasca ditetapkan sebagai cawapres mencerminkan pemahaman yang kuat tentang itu (“Tenang Pak Prabowo, saya sudah ada di sini”)? Memang, jika dihubungkan dengan materi gugatan PHPU Pilpres, peran abuse of power itu cukup terkonfirmasi. Tetapi siapa presiden yang sudi dikendalikan?

Tak perlu diragukan bahwa ambisi kekuasaan, pengaruh yang melemahkan disiplin dan etika, selalu tak hanya dapat meningkatkan persaingan, tetapi juga sekaligus ketegangan. Bagi dua kubu seperti ini, dalam sistim politik Indonesia, masa pemerintahan selama 5 tahun itu sangat singkat. Sukar dibayangkan mengawali dengan kesepakatan ihlas untuk menggondol peluang bersama dua periode pemerintahan ke depan. Gambaran awal akan muncul dalam penyusunan kabinet.

Dwi-tunggal Soekarno-Hatta berpisah jauh. Soeharto bukanlah Presiden yang benar-benar sejalan dengan seluruh wakilnya. Gus Dur-Megawati berkonflik keras, memaksa keduanya berbagi masa jabatan lima tahun. SBY-JK cekcok, dan saat memasuki kompetisi untuk masa jabatan ke dua, Budiono yang menjadi wakil. JK menjadi wakil bagi Joko Widodo, untuk masa jabatan pertamanya, dan mereka cukup produktif mengindikasikan ketidakserasian. Jika agak kritis menelaah, KH Ma’ruf Amin juga tak begitu nyaman dalam menjalani hari-hari sebagai Wakil Presiden bagi Joko Widodo.

Konstitusi memosisikan wakil presiden hanyalah pejabat penting yang tak ubahnya ban serap belaka dalam andong, pedati, sepeda ataupun kenderaan bermotor. Budaya politik yang tak mendukung atas sistim pemilihan berpasangan dalam kepemimpinan puncak eksekutif tak hanya begitu kaya tanda-tanda buruk pada tingkat nasional, tetapi juga pada seluruh daerah (provinsi, kabupaten dan kota).

Kedua, perbedaan ideologi dan kebijakan. Prabowo dan Gibran mewakili orientasi ideologi dan kebijakan yang belum tentu bersesuaian. Prabowo sering dikaitkan dengan agenda yang lebih nasionalis dan berfokus pada keamanan, sedangkan Gibran tentulah merasa sangat berkepentingan menjadi penerus setia pendekatan pemerintahan Joko Widodo.

Apakah keduanya harus diperbedakan, dan dengan cara apa? Lagi pula, bukankah Prabowo Subianto salah seorang elit Indonesia yang paling serius memuji kepemimpinan Joko Widodo? Pertanyaannya ialah, benarkah keraguan tak berdasar atas potensi disharomoni yang berulangkali terbukti secara empiris di Indonesia?

Pendukung masing-masing akan cenderung terlibat dalam aliansi cair dan melakukan manuver taktis memaksimalkan peluang keberhasilan saling mengeliminasi. Dapat melalui pembentukan koalisi, kompromi strategis, atau bahkan secara tiba-tiba mengubah posisi dan aliansi berdasarkan persepsi atas peluang atau ancaman.

Dalam kaitan itu patut dicurigai risiko besar di balik wacana membangun pemeritahan yang mirip dengan sistim partai tunggal tanpa oposisi, yang belakangan digaungkan. Langkah setback ini hanya berkepentingan untuk mengabadikan kekuasaan dengan pilihan demokrasi terpimpin ala Soekarno atau pendekatan lain khas Soeharto.

Ketiga, disfungsi dan polarisasi kelembagaan. Permasalahan disfungsi institusional dan polarisasi politik yang terus terjadi di Indonesia dapat memperburuk ketegangan. Jika lembaga-lembaga demokrasi terus tak mampu melahirkan platform persaingan yang stabil dan inklusif, bentuk-bentuk ketegangan yang lebih konfrontatif akan menjadi pengalaman sehari-hari. Konflik berbiaya sangat mahal ini akan mensubordinasikan tujuan bernegara menjadi urusan yang dijauhkan dari pengarusutamaan konstitusional.

Ketidakstabilan politik dan risiko kemunduran demokrasi menanti. Ketegangan sosial dan potensi kekerasan atau kerusuhan sipil, gangguan terhadap pembangunan ekonomi dan stabilitas negara secara keseluruhan, lesu semangat mengatasi permasalahan mendesak seperti disparitas, korupsi, dan kesenjangan regional; dan rusaknya reputasi yang berpengaruh terhadap hubungan internasional, menanti di depan mata.

Keempat, dinamika ekonomi dan sosial. Interaksi antara faktor-faktor ekonomi, seperti alokasi sumber daya dan kesenjangan, serta dinamika sosial, termasuk perpecahan berdasarkan identitas, juga dapat membentuk dinamika kedua kubu yang dapat dieksploitasi untuk keuntungan politik.

Kelima, kepentingan oligarki dan resistensi terhadap reformasi. Pengaruh struktur kekuasaan oligarki yang bertahan lama dalam politik Indonesia, mengarah pada upaya para elit yang sudah mengakar untuk memanipulasi atau melemahkan setiap aspirasi politik yang diidentifikasi sebagai ancaman terhadap status quo itu. Jaringan patronase dan kepentingan oligarki dalam sejarah Indonesia relatif terjaga sejak zaman penjajahan. Baik Prabowo maupun Gibran memiliki hubungan kuat dengan elit ekonomi dan politik. Sifat struktur kekuasaan oligarki yang mengakar ini memberi insentif kepada para elit untuk memicu ketegangan antara kedua kubu guna mempertahankan pengaruh.

Mengutamakan kepentingan pribadi dan faksi bukan sesuatu yang tabu untuk dihitung. Dengan tanpa budaya pemerintahan kolaboratif yang kuat dan upaya untuk mengejar kepentingan nasional, pragmatisme politik selalu memaksa kubu yang bersaing untuk mengutamakan kepentingan pribadi dan faksi di atas kebutuhan yang lebih luas, sehingga meningkatkan potensi konflik dan ketidakstabilan.

Keenam, kesenjangan regional dan diskriminasi berbasis identitas. Masa pemerintahan Joko Widodo cukup kaya data tentang alokasi pendanaan yang seyogyanya mereduksi kesenjangan regional. Dana desa, misalnya, sangat besar. Namun signifikansinya belum begitu terasa. Harmoni amat terganggu akibat pembelahan bangsa meski Joko Widodo selalu menimpali dengan berkepentingan atas kenikmatan pencitraan sebagai tokoh populis. “Pisahkan agama dengan politik” dan “saya Indonesia, saya Pancasila” adalah ucapan terkenal pembelahan bangsa oleh Joko Widodo.

Adakah politisi yang tak berkepentingan memobilisasi dukungan berdasarkan wilayah, etnis, atau agama, meski dalam situasi dan intensitas tertentu hal ini dapat memperburuk perpecahan masyarakat dan mempersulit kompromi politik? Orang-orang Batak banyak yang berusaha menutupi keresahan dengan kenaifan membeli gelar feodal dari residu Jawa masa lalu. Elit politik sangat gandrung seremoni berbasis dukungan komunitas beragama untuk insentif elektoral. Pemimpin agama secara salah terus dimanjakan oleh hadiah uang politik untuk anomali pemberian legitimasi kandidat politik.

Perkembangan aktual dari peristiwa-peristiwa dan potensi konflik akan bergantung pada faktor-faktor yang saling mempengaruhi dan kompleks, termasuk keputusan dan tindakan strategis yang diambil oleh aktor-aktor politik yang terlibat, ketahanan lembaga-lembaga demokrasi, dan kemampuan masyarakat Indonesia untuk menavigasi tantangan-tantangan ini.

Pada akhirnya, walaupun potensi konflik tidak dapat diabaikan, keberhasilan pengelolaan dinamika ini, melalui kombinasi reformasi kelembagaan, rekonsiliasi politik, dan mengatasi ketegangan sosial dan ekonomi, akan sangat penting untuk menjaga stabilitas dan konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-Joko Widodo.

Untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh pragmatisme politik partai dalam konteks persaingan ini, tak sedikit literatur menunjukkan bahwa Indonesia perlu menerapkan serangkaian reformasi komprehensif yang bertujuan untuk memperkuat independensi dan akuntabilitas partai politik, mendorong sistem yang lebih terprogram dan berbasis isu, pendekatan berbasis politik terhadap politik, dan mendorong budaya pemerintahan yang inklusif dan rekonsiliasi politik.

Shohibul Anshor Siregar
Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASAPADA
Medan, 06 Mei 2024