sumber foto

Setidaknya sebutan Batak dan yang sangat mirip dengannya kita ketahui tak hanya ada di Sumatera Utara (Indonesia), tetapi juga di beberapa tempat lain di dunia ini, antara lain Malaysia, Singapura, Filipina dan juga di  Eropa, tepatnya Bulgaria. Memang hingga hari ini tak cukup penjelasan untuk mempertemukan semuanya dalam bentuk yang terterima sebagai satu unititas tercerai-berai. Sejarah (kolonial) telah membawanya begitu rupa.

Gugatan yang menuntut untuk dinyatakan sebagai bukan Batak sebetulnya telah lama muncul di kalangan orang-orang yang selama ini dikategorikan sebagai bagian dari Batak, yakni Karo, Pakpak, Simalungun, dan Mandailing. Alasannya cukup mendasar, bahwa sebutan Batak bukanlah nama asli melainkan pemberian atau bahkan julukan negatif yang menurut orang Mandailing, Karo, Simalungun dan Pakpak justru tidak pernah dimaksudkan untuk mereka. Karena itu mereka merasa berbeda dengan Batak, dan sangat yakin bukan Batak.

Masalah inilah yang diperbincangkan serius dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh Yayasan Madina Centre pekan lalu dengan menghadirkan 3 pembicara dari kampus Unimed (Prof Dr H Usman Pelly, MA, Dr Ichwan Azhari dan Dr Erond Damanik). Ini memang tidak boleh berkutat sebatas urusan bersifat klaim dan kontra klaim semata. Apakah para narasumber sekaligus bermakna telah melakukan sebuah peruntuhan atas temuan Cornelis van Vollenhoven?

Ketika membaca pemberitaan tentang hasil forum ini di media sosial, saya mengajukan pertanyaan kepada penyelenggara yang kebetulan adalah orang Mandailing (Irwan Daulay) “mengapa mereka tak menghadirkan ahli dari Toba, Pakpak, Angkola dan Gayo?” Menurut saya tidak ada halangan untuk mempertemukan pertikaian pendapat dalam sebuah forum seperti ini. Paling tidak, ibarat orang dalam satu keluarga seyogyanyalah semua anggota hadir dan memberi pendapat ketika salah satu atau beberapa orang di antaranya bermaksud “manjae” (memisahkan diri) meski pun orang yang akan memisahkan diri itu sudah lama merasa bukan bagian dari entitas yang selama ini dianggap orang sebagai keluarganya juga.

Sebagaimana diketahui antropolog Belanda yang lahir di Dordrecht, Belanda, 8 Mei 1874, ini,  yang juga dikenal sebagai “Bapak Hukum Adat”, yang pada tahun 1918 yang lalu pernah melahirkan  mahakarya berupa kumpulan tulisan bejudul “Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië” (Hukum Adat Hindia Belanda). Di sini dijelaskan bahwa orang-orang dari Tanah Gayo, Alas, dan Batak Gayo Lues, Tanah Alas, Tanah Batak, adalah salah satu rumpun dari 19 lingkungan adat di Hindia Belanda. Mereka jelas berbeda tradisi dan adat dengan kaum pendatang (Vreemde Oosterlingen- Kaum Timur Asing: Arab, Tionghoa, dan India).

Dalihan Na Tolu, misalnya, adalah sebuah konsep sistem kekerabatan yang menjadi living reality  tak hanya dikenal di Toba dan Angkola. Mandailing menyebutnya Dalian Na Tolu. Kalau tak salah di Simalungun dikenal Tolu Sahundulan. Seingat saya Rakut Sitelu juga dikenal sebagai sebutan untuk konsep yang sama di Karo dan Pakpak menyebut Daliken Sitelu. Tentu dari satu ke lain puak akan terdapat perbedaan tentang ketat dan longgarnya penerapan konsep Dalihan Na Tolu ini. Diyakini tidak hanya faktor nilai-nilai lokal yang menyebabkannya demikian, karena diketahui agama yang dianut juga turut berpengaruh.  Tetapi mudah-mudahan tidak jauh melenceng jika dikatakan bahwa sangat dimungkinkan lingkungan hukum adat tertentu dapat saja didukung bersama oleh sejumlah orang tertentu dari asal genealogis yang sama atau berbeda karena sudah hidup bersama atau berinteraksi intensif sesama. Ini terkesan sangat spekulatif, bukan?

Ada hal lain yang perlu disodorkan sebagai pertimbangan. Ketika menegaskan pokok kajiannya dalam “Batak Fruit of Hindu Thougth” Harry Parkin (1978) bersikukuh menegaskan semua kelompok suku yang protes itu sesungguhnya adalah sebagai bagian dari Batak yang dalam pandangannya berinduk ke Batak Toba dengan lima alasan. Pertama, semua suku Batak berasal dari nenek moyang yang sama yang tinggal di tepi danau Toba, yang secara genealogis Tobalah sesungguhnya yang paling dekat dengan sumber yang sama.

Kedua, semua suku Batak terbagi ke dalam marga-marga, namun sistem marga paling berkembang ternyata ialah di antara orang Toba. Ketiga, semua suku Batak didasarkan pada sistem tripartit hubungan keluarga insogin eksogamous yang di Toba dikenal sebagai dalihan na tolu yang merupakan ekspresi paling jelas dari sistem ini. Keempat, semua agama Batak pada dasarnya adalah kultus atas jiwa manusia, yang pada orang hidup dikenal sebagai tondi dan untuk orang yang meninggal umumnya disebut begu. Sejak tahun 1909 agama Batak Toba sudah diakui, tidak hanya sebagai arketipe semua agama yang dianut oleh orang-orang yang selama ini dikenal Batak, tapi juga sebagai paradigma agama-agama Indonesia. Kelima, semua idiom dalam bahasa-bahasa orang-orang yang selama ini diklaim Batak itu ternyata berasal dari bahasa umum Batak Toba yang dianggap sebagai dialek ibu meskipun tidak semua saling dimengerti oleh satu sama lain.

Harry Parkin juga menunjukkan beberapa kesamaan dasar dalam aksara yang digunakan di antara Toba, Mandailing, Simalungun, Dairi dan Karo. Bukankah semua hal itu, dan ditambah lagi dengan berbagai tingkat persamaan bahasa, bukan menjadi data pendukung yang kuat untuk mengklaim keserumpunan di antara Toba, Mandailing, Simalungun, Karo dan Dairi yang faktanya menurut Cornelis van Vollenhoven diikat oleh lingkungan hukum adat yang sama?

Data berikut merupakan hal yang amat baru bagi saya, dan nanti saya masih bermaksud akan lebih mendalami dan melakukan korespondensi dengan pihak yang menghasilkannya. Sebuah penelitian yang diselenggarakan oleh Yossy Carolina Unadi, Inna Narayani, dan I Ketut Junitha, yang diterbitkan dalam Jurnal Biologi XIV (1) hlm 33-38 oleh Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana melaporkan temuan tentang variasi genetik orang Batak Toba, Karo dan Simalungun. Dalam penelitian itu mereka menggunakan tiga lokus mikrosatelit DNA (D2S1338, D13S317 dan D16S539) yang dilakukan untuk memperoleh ragam alel pada 76 sampel yang di antara sesamanya tidak berhubungan keluarga. Semua sample tinggal di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

Sampel DNA diektraksi dari darah dengan menggunakan metode fenolkhloroform dan presipitasi etanol. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode PCR (SuperMix, Invitrogen). Proses berlangsung dengan sangat terbuka, dan semua sample beroleh keterangan tentang maksud dan tujuan penelitian. Hasilnya, ditemukan sebanyak 14 alel pada lokus D2S1338, 10 alel pada lokus D13S317 dan 8 alel pada lokus D16S539.

Kesimpulannya ketiga lokus ternyata menunjukkan keragaman genetik yang tinggi, baik pada masing-masing lokus maupun pada pada masing-masing subsuku. Angka keragaman genetik yang ditemukan ialah sebesar 0,8637 pada Batak Toba, 0,7314 pada orang Karo dan 0,7692 pada orang Simalungun. Catatan lain yang diberikan oleh para peneliti ini ialah bahwa nilai heterozigositas yang tinggi di atas angka 0,7 berdasarkan penanda DNA mikrosatelit ditemukan pada kelompok benua Asia (Jorde et al 1997).

Memang, pada penelitian ini jumlah sample dari Batak Toba jauh lebih banyak dibandingkan dengan kedua lainnya yang diketahui lazim menyebabkan kemungkinan munculnya variasi alel lebih banyak dibandingkan dengan Batak Toba yang memiliki jumlah sampel sedikit. Ini sebuah catatan titik lemah, karena perbedaan nilai heterozigositas dapat disebabkan perbedaan jumlah sampel, jumlah microsatellite marker yang digunakan dan jumlah alel pada setiap lokus sebagaimana pernah ditemukan oleh Yuniawati (2002) terhadap suku Betawi. Hingga hari ini saya tidak tahu apakah data untuk Mandailing, Simalungun dan Angkola, termasuk Gayo, sudah pernah disediakan oleh para pakar dalam bidang ini.

Tetapi begitu pun, kelihatannya orang Angkola umumnya masih akan tetap “bertahan” sebagai Batak bersama Toba. Malah Angkola yang kerap disalah-fahamkan orang lain sebagai Mandailing, umumnya dengan tangkas akan menolak identitas itu. Mereka Batak. Batak Angkola. Selain dugaan bahwa mereka merasa dan mengetahui migrasi mereka dari Toba, dan dapat mengawetkan pengetahuan tentang tarombo (silsilah), mungkin juga karena faktor kuatnya pengaruh publikasi seperti yang dilakukan oleh Mangaradja Onggang Parlindungan (1964). Meski pun begitu tak jarang di antara orang Angkola yang kebertahanannya berkat mitos. Entahlah.

 

Shohibul Anshor Siregar
Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASPADA,
Medan, 30 Oktober 2017, hlm B9.