dpdKalaupun Anda tahu ada orang yang mencoba-coba menjadi anggota DPRD/DPR-RI dan DPD RI dan nanti jika ternyata kalah balik lagi menjadi dosen, itu masalah dia sajalah. Menurut aturan yang ada, dosen PNS (di kemendikbud maupun di kemenag) sama saja, harus berhenti dulu baru boleh mencalonkan diri dalam pemilihan (DPRD/DPR-RI dan DPD).

Sebulan lalu saya didatangi oleh seseorang. Ia seorang ustaz yang sudah saya kenal lama. Dalam kunjungannya yang singkat di kantor saya terjadilah diskusi tentang politik kontemporer, di ataranya soal calon-mencalon, dan terjadilah dialog, demikian:

Dia: Mengapa Anda tidak mencalon DPR? Atau mungkin Anda lebih tepat ke DPD sebagai orang independen yang saya tahu punya jaringan luas di Sumatera Utara.

Saya: Pertama, saya sudah lama memilih menjadi dosen (PNS) dan pekerjaan saya ini sangat saya cintai. Kedua, saya merasa tak pula berbakat di dunia politik (praktis). Ketiga, mungkin nanti setelah pensiun saya akan melamar menjadi anggota parpol dan meminta saya menjadi sekretaris saja dan berjanji tidak akan menjadi anggota legislatif agar fokus melakukan pembinaan, kaderisasi dan perjuangan partai untuk maslahat rakyat. Itu optional. Jika mungkin. Ya, jika mungkin. Saya akan kaji dulu. Keempat, memang ada sebuah momentum pasca Orde Baru sejumlah akademisi memilih masuk politik praktis. Masa euforia itu sudah berlalu, yang sudah menentukan pilihan kita anggap sebuah ijtihad saja.

Dia: Coba saja dulu. Nanti jika Anda tak menang kan bisa balik lagi ke kampus. Mudah saja. Mengapa Anda begitu sederhana berfikir?

Saya: Tidak boleh begitu. Selain kita harus jujur kepada diri kita, kepada masyarakat dan Tuhan kita, kita pun harus mengenali diri kita. Jaringan saya selama ini kan terbentuk karena agenda-agenda pembedayaan masyarakat, bukan agenda politik praktis. Lihat saja itu ustaz sejuta umat, ketika beralih ke dunia politik langsung dijauhi oleh masyarakat. Itu artinya masyarakat pun tahu bahwa kualitasnya tidak mumpuni dalam bidang politik. Akan ada yang menuduh kita hanya ingin senang-senang saja mencapai target pribadi.

Dia: Ah, Anda saja yang keterlaluan. Hari gini masih mau jujur? Hancurlah terbujur.

Saya: Oh. Maafkan saya. Kalaupun Anda tahu ada orang yang mencoba-coba menjadi anggota DPRD/DPR-RI dan DPD RI dan nanti jika ternyata kalah balik lagi menjadi dosen, itu masalah dia sajalah. Menurut aturan yang ada, dosen PNS (di kemendikbud maupun di kemenag) sama saja, harus berhenti dulu baru boleh mencalonkan diri dalam pemilihan (DPRD/DPR-RI dan DPD).

Dia: Jadi menurut Anda tidak boleh coba-coba? Saya tahu memang dulu belum ada aturan yang jelas. Sekarang bisa masuk bui itu. Jika sampai kini ia masih merangkap calon DPRD/DPR-RI atau DPD dan dosen PNS, apa pun alasannya, hal itu sudah menunjukkan siapa dan seburuk apa dirinya sebenarnya. Ia tak boleh dipilih. Ia salah seorang musuh negara.

Saya: Ya, orang itu mungkin mau menipu negara, tapi tak takut menipu diri dan menipu Tuhannya. Orang itu ingin menjadi orang penting, tetapi kelasnya masih jauh di bawah. Sayang sekali Indonesia masih memiliki orang seperti itu. Itu yang disebut kurang ajar dan perlu diajar lagi di penjara. Ha ha.

Shohibul Anshor Siregar