Misi utama posting ini ialah menawarkan interpretasi otentik terhadap Sipriok sebagai sebuah nama tempat yang disebut secara tegas sebagai ibukota Kabupaten induk Tapanuli Selatan setelah pemekaran berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2007 dan Nomor 38 Tahun 2007. Juga disiratkan penyesalan atas kecenderungan menuduh pihak yang pro ketentuan hukum (kota Sipirok ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan) sebagai pihak yang tidak sportif. Menolak kota Sipirok sebagai ibukota Tapanuli Selatan sama artinya mengingkari pemekaran Tapanuli Selatan yang kini sudah terdiri dari Kabupaten induk Tapanuli Selatan, Kabupaten Padanglawas Utara beribukota di Gunung Tua dan Kabupaten Padanglawas yang beribukota di Sibuhuan.
Jadi begini. Orang yang menginginkan ibukota Tapanuli Selatan itu di Sipirok adalah rakyat yang tahu dan mendukung kemauan UU no 37 dan 38 tahun 2007. Penegasan apa yang ditemukan pada kedua UU itu?
-
Pada UU No 37 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kab Paluta Di Provinsi Sumatera Utara, pada Bagian Keempat tentang Ibukota, tepatnya Pasal 7, disebutkan bahwa Ibukota Kabupaten Padanglawas Utara berkedudukan di Gunung Tua. Sedangkan pada Pasal 21 disebutkan bahwa ”dengan disahkannya UU ini, Ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan Kabupaten induk berkedudukan di Sipirok. Dijelaskan lagi bahwa paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak UU ini diundangkan, secara definitif, pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan telah berada di Sipirok.
-
UU No 38 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Padanglawas di Provinsi Sumatera Utara, pada Bagian Keempat tentang Ibukota, tepatnya Pasal 7, disebutkan bahwa Ibukota Kabupaten Padanglawas berkedudukan di Sibuhuan. Sedangkan pada Pasal 21 disebutkan bahwa ”dengan disahkannya UU ini, Ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan Kabupaten induk berkedudukan di Sipirok. Dijelaskan lagi bahwa paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak UU ini diundangkan, secara definitif, pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan telah berada di Sipirok. Kedua UU (Nomor 37 dan Nomor 38 Tahun 2007) memberi redaksi yang tak berbeda sama sekali.
Jadi dua UU tentang Pemekaran Padanglawas Utara dan Padanglawas yang masing-masing secara eksplisit menyebut nama ibukota (Gunung Tua dan Sibuhuan) sama-sama menegaskan ketentuan tentang ibukota Tapanuli Selatan sebagai Kabupaten induk, yakni Sipirok. Pada kedua UU itu terdapat lampiran peta cakupan wilayah dan batas-batasnya yang tak terpisahkan dari batang tubuh kedua UU tersebut dengan skala 1:50.000. Peta itu dibuat oleh pemerintah dan diserahkan kepada pemerintah daerah saat peresmian pemekaran.
Sekarang, kita ingin selidiki argumen apa yang dimiliki oleh orang-orang yang menginginkan ibukota Tapanuli Selatan tidak di kota Sipirok. Kita tahu bahwa ibukota untuk kedua Kabupaten pemekaran dari Tapanuli Selatan yakni Padanglawas Utara dan Padanglawass masing-masing disebut secara eksplisit nama kota, yakni Gunung Tua dan Sibuhuan.
Di Padanglawas Utara memang tidak ada nama Kecamatan Gunung Tua (1. Dolok Sigompulon; 2. Dolok; 3. Halongonan; 4. Padang Bolak; 5. Padang Bolak Julu; 6. Portibi; 7. Batang Onang; dan 8. Simangambat.). Di Kab Palas juga tidak ada nama kota yang sama dengan nama Kecamatan (1. Sosopan; 2. Barumun Tengah; 3. Huristak; 4. Lubuk Barumun; 5. Huta Raja Tinggi; 6. Ulu Barumun; 7. Barumun; 8. Sosa; dan 9. Batang Lubu Sutam). Secara praktis orang tidak memerlukan debat untuk penentuan lokasi ibukota.
Kasus Kabupaten Tapanuli Selatan berbeda dan sesungguhnya tidak mungkin dipermasalahkan dengan cara apapun. Memang ada sebuah nama Kecamatan di Kabupaten induk Tapanuli Selatan yang sama dengan nama sebuah kota yang ada di Kabupaten itu. Itukah alasan untuk menginterpretasikan bahwa ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan bukan kota Sipirok? Ini sebuah perlawanan nyata terhadap UU No 37 dan 38 Tahun 2007.
Sebagaimana diketahui bahwa di Kabupaten Tapanuli Selatan kini ada 12 Kecamatan yang salah satunya bernama Kecamatan Sipirok (1.Angkola Timur 2. Angkola Barat 3. Angkola Selatan. 4. Sipirok. 5. Arse. 6. Saipar Dolok Hole. 7. Aek Bilah. 8. Batang Angkola. 9. Sayur Matinggi.10.Batang Toru. 11.Marancar 12.Muara Batang Toru).
Jika UU 37 dan 38 Tahun 2007 memandang kota Sipirok tak layak jadi ibukota, atau jika kedua UU yang sama memandang Gunung Tua dan Sibuhuan tidak tepat menjadi ibukota karena berbagai alasan, misalnya katakanlah terlalu ”kuno” semua kota itu, atau karena lain-lain alasan yang bersifat objektif maupun subjektif, tentulah kedua UU itu tak akan segan-segan menunjuk sebuah nama lain yang bukan kota, misalnya dengan menyebut ”ibukota Kabupaten induk Tapanuli Selatan adalah Kecamatan Sipirok”. Benarkah? Di bawah ini ada sebuah perbandingan yang tepat menjadi rujukan.
Pada bagian Keempat tentang Ibukota, UU No 45 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Utara di Provinsi Sumatera Utara, pada salah satu pasalnya (Pasal 7) secara eksplisit menyebutkan bahwa Ibukota Kabupaten Nias Utara berkedudukan di Kecamatan Lotu. Kecamatan Lotu adalah salah satu dari 11 Kecamatan yang terdiri dari 1. Kecamatan Lotu; 2. Kecamatan Sawo; 3. Kecamatan Tuhemberua; 4. Kecamatan Sitolu Ori; 5. Kecamatan Namohalu Esiwa; 6. Kecamatan Alasa Talumuzoi; 7. Kecamatan Alasa; 8. Kecamatan Tugala Oyo; 9. Kecamatan Afulu; 10. Kecamatan Lahewa; dan 11. Kecamatan Lahewa Timur.
Jadi jika UU akan menunjuk sebuah nama tempat yang bukan kota yang akan dibangun menjadi ibukota (Kecamatan) ia tidak akan sungkan-sungkan menyebutnya secara jelas sebagaimana terlihat pada UU No 45 tahun 2008 di atas.
Jangan pula diabaikan bahwa dalam pasal 7 penjelasan UU Nomor 37 Tahun 2007 dipertegs lagi bahwa “Yang dimaksud dengan Gunung Tua sebagai ibukota Padanglawas Utara berada di Kecamatan Padang Bolak”. Sekali lagi, jika Sipirok sebagai ibukota Tapanuli Selatan itu boleh di tempat lain di luar kota Sipirok, tentu redaksi perundang-undangan (UU Nomor 37 Tahun 2007 dan Nomor 38 Tahun 2007) akan dibuat eksplisit seperti yang dimaksudkan.
Tidak boleh dilupakan bahwa sebelum keputusan memekarkan sesuatu daerah terlebih dilakukan pemenuhan persyaratan yang di antaranya tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTK) dari tempat yang akan dijadikan sebagai ibukota. Sipirok (Tapanuli Selatan) memilikinya. Gunung Tua (Padanglawas Utara) memilikinya, begitu juga Sibuhuan (Padanglawas). Jika ada yang menganggap RUTK itu salah, agaknya masalahnya menjadi lain. Sebenarnya orang yang berfikir seperti itu lebih baik menolak UU 37 dan 38 sehingga pemekaran Tapsel dibatalkan saja.
Jangan kiranya ada anggapan yang mengesankan bahwa orang-orang yang memperjuangkan kota Sipirok sebagai ibukota adalah kalangan yang tak mau bersatu, yang tak maju, na gutgut, dlsb. Justru terbalik. Mengapa pihak yang memperjuangkan pelaksanaan UU didiskreditkan?
Horas ‘nBasis….! artikel sudah dibaca. Sungguh isinya “Rasional” mengenai penempatan Sipirok sebagai Ibukota Tapanuli Selatan. Tapi saya merasa aneh, menghubungkan berita dari “Waspada Online” dalam tulisan “Bupati Tapsel Menyemai Perpecahan”. Anehnya begini : 1. Itu Bapak Bupati sepertinya bersilat lidah, siapapun orang yang punya marga mengetahui, bahwa yang dimaksud Sipirok itu adalah “Pasar Sipirok dan Sikitarnya/radius 1 KM). Apa bapak Bupati ini punya Marga ? kalau tak punya, wajarlah pula dia tidak tau. 2. ‘nBasis (personalnyake atau kelompoknya) Jika saat ini kalian ada di Jakarta kemudian Menteri Kehutanan memerintahkan kalian pergi ke Sipirok, kemanakah kalian akan pergi ? jika kalian jawab, pergi ke Tolang, maka komentar ini sampai disini saja, dan kalian patut dicurigai, “jangan-jangan (?)” Horas.
‘nBASIS: terimakasih. pertanyaan terakhir itu agaknya lebih tepat ditujukan kepada orang dan pihak-pihak yang menolak Sipirok sebagai ibukota Tapanuli Selatan. sekaligus kita cari bersama siapa sasaran pertanyaan “mengapa orang yang mendukung kemauan UU 37 dan 38 tahun 2007 dianggap deferior dan seakan mau dihadapkan dengan kelompok masyarakat yang lain?”
LikeLike
Mau nimbrung….
Saya bukan orang Sipiriok, tapi pernah menghitung inci perinci kota sejuk itu selama 6 tahun. Yang penting ingat Aek milas-nya, ingat kampung santrinya, ‘Marsipature Hutana b’e itu kan sudah lama wujud jauh sebelum diwacanakan Raja Inal Siregar, dalam bentuk Marsialap ari. Itu kan artinya ‘Roja’na min jihaadil asghor ilaa jihhadil akbar’, kita baru saja kembali dari jihad kecil di perang Badar menuju jihad yang lebih besar di kampung sendiri. Yakni melawan hawa nafsu dan keserakahan. Jadi, Sipirok mau jadi ibu kota Tapanuli Selatan atau tidak, bukan masalah. Tapi manusia-manusianya yang harus menghijrahkan hati agar tidak ‘kampungan’, tapi berorientasi ‘ummul quroo’. Pembangunan berorientasi fisik pasti berujud kepada human error, yang menjauhkan alam ini dari sikap bersahabat.
Mari kita sama mencoba….
Al Faqeer Abdurrahman Lubis
‘nBASIS:oh
LikeLike
Dalam pemikiran dan presepsi dalam pembentukan suatu kota dalam suatu daerah harus juga kita lihat asal usul suatu perkembangan yang terjadi pada awal terbentuknya suatu tempat, dilihat dari latar belakang daerah itu juga. dengan demikian kita semua tahu bahwasanya keresidenan tapanuli di bentuk pada masa penjajahan belanda, munculnya sipirok menjadi suatu pemerintahan dari pemerintahan gubernur belanda yang berkedudukan di sibolga pada masa itu memunculkan sipirok menjadi daerah pemerintahan di angkola. tampa kita sadari sipirok sudah lebih dahulu diakui pemerintahan keresidenan tapanuli yang ada saat itu di sibolga, sebelum terbentuknya daerah pemerintahan di wilayah angkola jae yaitu padanlawas dan mandailing natal. dengan demikian kota padang sedempuan sebagai kantor penghubung antara ke 4 wilayang yang saling bersinggungan yaitu sipirok angkola, padang lawas angkola jae, mandailing natal dan sibolga
dalam pemikiran sejarah sipirok yg menjadi ibukota tapanuli selatan sejak jaman pemerintahann belanda, bukan karna UU yang dikeluarkan pemerintah pusat.
LikeLike