Memang ada rivalitas di antara kekuatan pheripheral (pinggiran) dengan kekuatan kapitalisme internasional yang saling memperebutkan sumberdaya di Madina

Mandailing Natal negeri tulila (sejenis alat musik tradisonal mirip seruling) kini bersedih. Alamnya yang kaya terpilah, dan seolah ditakdirkan bagian-bagian paling berharganya untuk pihak-pihak lain. Rakyat tak menerima nasib sebagai petani yang sawah dan ladang serta lubuk larangannya (perairan yang oleh kesepakatan adat dilarang dieksploitasi sendiri-sendiri dan hanya boleh dinikmati bersama dalam siklus waktu tertentu) diperkirakan tak terhindari dari ancaman.

Bertambahlah duka itu kini. Alam yang menyediakan banyak kelebihan komparatif seperti kesuburan lahan, kelebatan hutan dan gua-gua unik berisi jenis unggas penyedia rezeki besar (burung walet) telah lama menjadi turi-turian (kisah) yang menyedihkan.  Dahulu rakyat bersuka cita dengan perairan dan lahan-lahan berhias emas yang kini seperti berubah menjadi cemas.  Di sini kami punya emas, tetapi di sini karenanya kami menjadi cemas. Dengarlah jeritan itu, kawan.

PT Sorik Mas Mining. PT Sorik Mas Mining (SMM) adalah sebuah perusahaan pertambangan emas modal asing yang beroperasi di Mandailing Natal. Menurut berbagai sumber,  komposisi sahamnya 75% berada di tangan asing (Sihayo Gold Limited, SGL), dan 25% di tangan PT Aneka Tambang Tbk. Ini sesuai dengan kontrak karya yang dibuat thun 1998 dan yang perpanjangannya dilakukan oleh Kementerian ESDM melalui surat No: 554.k/30/DJB/2011 Tanggal 25 Maret 2011. SMM memiliki wilayah kontrak karya meliputi Kecamatan Kotanopan, Muara Sipongi, dan Ulupungkut dengan seluas 24.300 Ha. Sisanya (seluas 41.900 Ha yang lain) terletak di Kecamatan Siabu, Bukit Malintang dan Panyabungan Utara.

Tampaknya, terkait dengan perpanjangan kontrak karya itu ada mobilisasi masyarakat dengan maksud agar tambang itu ditolak karena dinilai tidak bermanfaat bagi masyarakat. Secara umum terdapat polarisasi sikap. Pertama, tanpa kompromi dengan target PT SMM harus diusir. Pihak ini mengajukan alasan-alasan keseimbangan lingkungan, dampak ekonomi, sosial dan budaya yang diangap tidak bisa ditanggulangi sama sekali bila SMM terus beroperasi.

Tetapi di antara sikap penolakan itu ada usul yang agak moderat. Diketahui adanya surat yang dilayangkan ke Presiden RI dengan usulan agar Presiden meninjau ulang kontrak karya SMM dengan mengalokasikan saham kepada Pemerintah Daerah dengan proporsi SMM 49%, Pemkab Madina 26%, PT Aneka Tambang 25%.  Dengan begitu proporsi saham pemerintah menjadi 51% dan modal asing 49%.

Mengapa ditolak? Secara serentak atau pada tanggal yang berdekatan pada bulan Maret 2011 seluruh warga dari 13 Desa di Ulupungkut dengan mobilisasi para aktivis masyarakat menandatangani Pernyataan Penolakan terhadap PT Sorikmas Mining.  Selanjutnya pada tanggal 9 Maret tokoh-tokoh masyarakat Kecamatan Ulupungkut juga melakukan pertemuan di Aula Kantor Camat yang kemudian melahirkan pernyataan kolektif tingkat kecamatan.

Ketigabelas desa itu ialah Hutarimbaru, Tolang, Muarasaladi, Simpang Duhu Lombang, Simpang dolok, Simpang pining, Simpang banyak Julu, Simpang Banyak Jae, Hutapadang, Habincaran, Alahangkae, Patahajang, dan Hutagodang. Mereka bersaksi (syahadah): “Kami adalah masyarakat yang memiliki kearifan budaya yang tidak merusak lingkungan. Kami adalah masyarakat yang banyak memanfaatkan hasil hutan untuk menunjang kehidupan keluarga, petani yang memanfaatkan lahan sebagai satu-satunya sumber penghidupan”.

Dari berbagai sumber diketahui bahwa para pegiat sosial di Madina menilai siapapun harus faham bahwa area kontrak kerja SMM justru sebagian besar berada di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Konon TNBG adalah merupakan wilayah tangkapan air bagi sebuah sungai besar di sana, Batang Gadis. Juga bagi beberapa anak sungai lainnya seperti Batang Pungkut. Sungai-sungai itulah yang selama ini menjaga ketersediaan pasokan air untuk kurang lebih 360.000 jiwa penduduk yang mengusahai lahan persawahan sekitar 34.500 Ha dan kurang lebih 43.000 ha perkebunan rakyat. Bayangkan. Tidak cuma itu. Kawasan DAS Batang Gadis adalah habitat bagi beragam mamalia (Harimau Sumatra, Kambing Hutan, Tapir, Beruang Madu, Rusa Sambar, Kijang Muncak, dan Kucing Hutan) dan juga bagi banyak jenis unggas yang di antaranya sudah dalam status hukum dilindungi di Indonesia

Kegiatan eksplorasi emas di Kabupaten Mandailing Natal sebenarnya sudah berlangsung sejak lama oleh masyarakat. Memang banyak yang melakukan aktivitas penambangan illegal dengan pola dan organisasi tertentu. Pihak ini jelas sangat terganggu dengan kehadiran PT SMM.

Seorang yang berpengalaman dalam pertambangan (Bosman Batubara) berusaha menjelaskan secara sederhana. Ia sadar bahwa pada umumnya orang awam percaya bahwa operasionalisasi SMM kelak tidak akan berbahaya, karena lokasinya kecil saja. Padahal jika diperhatikan secara cermat ternyata wilayah kontrak PT SMM itu sangat luas. Kota Panyabungan saja hanya satu titik kecil kalau dibandingkan dengan lokasi area kontrak perusahaan. Infiormasi itu ternyata menyesatkan.

Setelah menelaah bahan-bahan terkait, Bosman Batubara cenderung tak membantah berkesimpulan bahwa apa yang sedang dirancang oleh PT SMM di Madina bahkan lebih mematikan dari apa yang terjadi di Freeport  (Papua). Katanya, di Freeport juga mereka pada awalnya hanya mau menggali Eastberg, tetapi kemudian ditemukan Grasberg, dan lobang pun bertambah besar dan bertambah banyak.  Mereka makin kuat mencengkeram di sana, termasuk dengan cara mengkooptasi pemimpin lokal yang lebih memilih kepentingan materi. Melihat model yang sedang dibangun oleh PT SMM, besar kemungkinan pola di Freeport akan mereka kerjakan juga. Apalagi mereka sudah memegang kontrak karya untuk wilayah di Kecamatan Kotanopan, Ulupungkut dan Muara Sipongi (Madina bagian selatan). Dengan demikian, jangan heran kalau nanti mulai dari Panyabungan hingga Muarasipongi menganga lubang-lubang raksasa yang berserakan.

Penutup. Memang ada rivalitas di antara kekuatan pheripheral (pinggiran) dengan kekuatan kapitalisme internasional yang saling memperebutkan sumberdaya di Madina. Alasan-alasan untuk menolak dari masyarakat bukan hanya terkait dengan lingkungan, tetapi juga soal prinsip kedaulatan dan keadilan ekonomi.  Menolak operasional SMM tampaknya harus diartikan sebagai upaya perlindungan tidak saja untuk masyarakat lokal, tetapi juga terhadap kedaulatan ekonomi negara/bangsa. Selama perlindungan masalahat rakyat dan kedaulatan ekonomi dapat dijamin tidak ada alasan untuk tidak menerima pengelolaan yang adil atas sumberdaya alam yang menjadi kekayaan Indonesia.

Dimuat pertamakali oleh Harian Waspada Medan, Kamis 3 Nopember 2011