Demokrasi Dalam Benak Rakyat Kecil
Rasis itu apa sih? Kalau saya berbicara tentang betapa kayanya minoritas Tionghoa yang menguasai ekonomi di tengah mayoritas pribumi yang melarat, dan kini setelah minoritas itu benar-benar memastikan penguasaan yang amat kukuh atas ekonomi, lantas juga akan segara menguasai politik, apakah saya ini menjadi seorang rasis yang harus dicarikan pasal-pasal tuduhan pidananya agar segera dapat dipenjarakan? Sesuatu yang aku bicarakan dan kakang tuduh rasis adalah gejala hilir saja akibat dari kebijakan rasis di hulu
.

“Demokrasi itu menyangkut kondisi dari banyak hal, tak cuma soal pemilihan umum belaka untuk menentukan legislator dan Presiden. Itu menurutku”, kata Paijo. Mengaca pada nasib Indonesia yang masih selalu dibanggakan karena tetap mengalami pertumbuhan meski berbagai negara lain sudah ada yang drop ke pertumbuhan negatif,  Paijo memujikan Zhu Rongji sang Perdana Menteri China yang berusaha melawan korupsi yang juga belum habis-habis. “Barat penuh kecemburuan terhadap kemajuan ini, dan saya juga iri Indonesia tidak dibuat oleh SBY sepesat kemajuan tirai bambu itu.  Perhatikan ini syal yang dikenakan Ujang, itu satu contoh produk China. Ekonomi kita dihantam habis dengan kebijakan globalisasi yang memberi karpet merah kepada masuknya produk-produk asing termasuk kemaharajaleaan produk China di sini”, tambah Paijo.

Tiba-tiba Wak Uteh nyeletuk, “jangan lagi gunakan istilah China. Itu sudah diganti SBY dengan istilah Tionghoa, kemaren. Ya, baru kemaren”. Ucok tersenyum lebar ditimpali tawa ngakak Ujang dan berkata: “China ya China, meskipun demi ini, demi itu dan demikian, China menjadi Tionghoa untuk SBY dan berarti sekaligus untuk Indonesia. Ini soal-soal politik saja, kawan. Jangan lupa, Gus Dur juga telah mengagamakan Konghuchu, tetapi tidak yang lain. Konghuchu itu agama buat orang-orang China. China itu dua, China Negara dan China etnis. Jangan salah. SBY tidak hendak mengganti nama Negara China menjadi Negara Tionghoa. Gak beranilah itu, dan memang bukan itu maksudnya. Tapi kita bolehlah bingung sekarang, apakah SBY dengan keputusan politiknya itu sekaligus bermaksud mengganti China Town menjadi Tionghoa Town, Chinese Food menjadi Tionghoa Food. Suka-sukalah, kata Ucok.

Katakanlah orang Tionghoa di Indonesia selama ini tak suka sebutan China untuk dirinya dan minta diganti. Tetapi hingga sekarang aku tak tahu apa alasannya dan akan bagaimana nanti setelah China diganti dengan Tionghoa, jelas Ucok. Apa ada yang tahu mengapa mereka tidak suka disebut China?

Warga Negara Kelas Wahid. “China, eh Tionghoa di Indonesia itu kan warga Negara kelas wahid”, kata Ujang yang segera saja disambut oleh Paijo dengan ungkapan bernada lebih tinggi: “jangan rasis, sobat. Jangan rasis”. Sobat-sobat tahukah, Presiden kita itu kan orang-orang pintar semua. Gak mungkin tak dipertimbangkan dengan matang ketika akan diberi status agama kepada Konghuchu meski banyak aliran mirip agama yang lebih tua di sini dan lebih berjasa serta menuntut hak menjadi agama tetapi tetap tak diagamakan. Hati-hati saja sama orang kaya dan warga Negara kelas wahid. Kalau uangnya dibawanya ke lain Negara, seperti ke Singapura misalnya, kita mau bilang apa? Kalau misalnya saja sebuah partai seperti yang dipimpin SBY didukung oleh orang-orang kaya dari warga Negara kelas wahid, tidakkah bisa dibayangkan betapa menyenangkannya bagi partai itu?  Jika dengan segala cara warga kelas wahid yang kaya-raya itu menginginkan Paijo menjadi Presiden, misalnya, tak ada yang sanggup menghalangi itu. Warga Negara kelas wahid yang kaya raya bisa membuat opini mengarah dukungan dan tak aka nada yang melawan itu, atau tepatnya tak aka nada yang sanggup melawan itu.

“Jadi itukah pertimbangannya? Pertimbangan itu disebut pertimbangan pintar? Ya, sudahlah kalau begitu. Memang aku tak sekolahan. Gitu ya gitu. Tapi jelas aku pusing. Pusing aku, sobat”, kata Ujang.  “Begini”, tegas Ujang menambahkan: “Rasis itu apa sih? Kalau saya berbicara tentang betapa kayanya minoritas Tionghoa yang menguasai ekonomi di tengah mayoritas pribumi yang melarat, dan kini setelah minoritas itu benar-benar memastikan penguasaan yang amat kukuh atas ekonomi, lantas juga akan segara menguasai politik, apakah saya ini menjadi seorang rasis yang harus dicarikan pasal-pasal tuduhan pidananya agar segera dapat dipenjarakan? Sesuatu yang aku bicarakan dan kakang tuduh rasis adalah gejala hilir saja akibat dari kebijakan rasis di hulu. Tidak ada lapangan permainan yang adil dalam ekonomi, adalah masalah hulu, dan karena diskriminasi itulah terjadi kesenjangan yang begitu lebar dan ketika aku meneriakkan masalah hilir ini, maka sesalah apakah aku gerangan di mata hukum dan Negara Republik Indonesia? Ini jelas bukan Negara yang dicita-citakan KHA Dahlan dengan ungkapan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Gafur. Ini jelas bukan Negara yang dimerdekakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Ini jelas bukan Negara yang diperjuangkan oleh Bung Sjahrir, Jenderal Soedirman, Jenderal Nasution dan lain-lain.  Wak Uteh Bingung. Ucok pusing, Ujang dan Paijo memejamkan mata serempak sambil menutup dengan kedua telapak tangan.

Ini seperti di kelas waktu saya sekolah dulu. Aku rasa aku cukup pintar, tetapi tetap tak pernah diberi kesempatan untuk menjadi duta sekolah untuk berbagai kesempatan. Aku ingat ada murid yang menyogok guru agar dapat nilai bagus. Bapakku yang pendodos tak punya uang untuk disogokkan. Meski aku tak pernah tinggal kelas, aku merasa seorang murid yang dikorbankan. Begitu, kata Paijo.

Agenda Demokrasi. Seingatku, ya ini kalau gak salah ya, kata Ujang, dampak dari sistem negara demokrasi harus berimbas ke berbagai macam hal, seperti politik, budaya, ekonomi, sosial, hukum, dan lain sebagainya. Nah, sekarang kita coba bicara tentang demokrasi pembangunan ekonomi negara, ajak Ujang. Ekonomi suatu negara bergantung kepada kebijakan yang diambil oleh pihak pemerintah yang memimpin dan ideologi suatu negara.

Kalau itu aku cocok sobat, sambut Ucok dan Wak Uteh. Kita menganut ekonomi kerakyatan. Kita menganut ekonomi kekeluargaan. Jangan salah tanggap, bukan ekonomi penguasaan oleh keluarga-keluarga, apalagi segelintir orang. Bukan itu, lanjut Paijo dan menyambung dengan pernyataan lainnya. Mari kubacakan satu tulisan di media massa, katanya: ”Telah menjadi perdebatan kalangan ilmuan politik dan ilmuan ekonomi mengenai pengaruh demokrasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada ilmuan yang meyakini demokrasi dapat mendorong dan berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Tetapi  sebagian lagi menyatakan keduanya tidak ada hubungan kausalitas, namun ada juga yang berpendapat demokrasi bersifat indirect impact  terhadap pertumbuhan ekonomi”.

”Ah, bahasanya terlalu tinggi, sobat. Gak mampu aku mencernanya. Ada bahasa Inggerisnya lagi. Jika demokrasi itu hanya sebuah upaya untuk penguasaan sepihak dan minoritas untuk seluruh sistem sumber, maka aku sumpah tak mau ada demokrasi di sini. Aku tak ihlas. Aku tak redho. Dalam pikiranku, demokrasi itu menghasilkan keadilan dan kemakmuran, tegas Ujang. Kemudian ia pun melanjutkan: ”Negara demokratis lebih makmur dari negara yang tidak demokratis, katakanlah negara dengan sistem otokratis. Mobilnya lebih banyak. Listriknya tak mati-mati. Air yang dialirkan ke rumah penduduk tak keruh. Makanannya bergizi, bukan raskin lagi macam kita ini.  Rumahnya semua pakai AC, gak lantai tanah lagi macam kita ini.  Semua punya pekerjaan dan punya tabungan. Tidak ada pengiriman pembantu rumah tangga ke luar negeri yang selalu tak luput dari cerita sedih penyiksaan dan malah pengiriman pulang  mayat dalam peti mati.

Anak-anak disekolahkan sampai sarjana hukum, sarjana ekonomi, sarjana pertanian, dokter atau apa saja maunya anak-anak itu. Soalnya uangnya ada, para gurunya pintar-pintar.  Jika mau jadi polisi dan tentara atau pegawai negeri tak perlu sogok. Soalnya anak-anak yang mau masuk itu pintar semua, dan negaranya dipimpin oleh orang paling jujur dan baik hati, yang tidak mau mencuri, tidak mau korupsi.  Pegawai tidak buat tarif jika menerima pegawai baru. Lagi pula kalau ada pegawai yang jahat langsung ditangkap dan dikurung supaya tidak bisa korupsi lagi, agar tidak bisa berbuat rasis dan diskriminatif lagi seperti selama ini.

 

Shohibul Anshor Siregar. Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASPADA, Medan 24 Maret 2013, hlm C5.